Shilla merasakan matanya terbuka, namu semua terasa gelap dan berat.
Perlahan-laha ia coba menggerakan jari-jarinya, rasanya ia sudah dapat
menggerakan semuanya dengan mudahnya, tapi.............. ia merasa jari-jari
tangannya tak kunjung bergerak. Apa yang sebenarnya terjadi padanya?
Ia berusaha sekuat tenaga, mengangkat kelopak matanya agar terbuka. Mulai
ada cahaya-cahaya mengkilat dihadapannya. Sedikit lagi, sedikit lagi matanya
akan terbuka. Ia mulai bisa melihat keadaan sekitarnya sedikit demi sedikit,
namun semuanya buram. Shilla terus berusaha tanpa henti, hatinya tak
hentinya-hentinya berdo’a untuk keselamatannya. Dan......... matanya terbuka
dengan sempurna, tepat dihadapannya ka Arel sedang menunggunya.
“Chill? Kamu udah sadar?” Tanya ka Arel yang senang melihat Shilla sudah
tak berada dalam mimpi panjangnya lagi.
“ka... ka Arel...” sapa Shilla disertai senyumnya.
“Shillaaaa....” ucap Ray dan Sivia bersamaan yang langsung berhamburan
menuju ranjang Shilla.
“Ray... Via..” sapa Shilla lagi, tak lupa dengan senyumnya.
“Shill, lo kenapa sih? Maaf yaa” ucap Sivia sambil menggenggam tangan
Shilla.
“kok minta maaf vi?” Tanya Shilla.
“Shill, lo begini bukan gara-gara gue jadian sama Sivia kan? Lo engga
suka sama guekan Shill?” Tanya Ray dengan tampang tanpa rasa bersalah
sedikitpun. Ray ini memang benar-benar kelewat polos ya.
Shilla tertawa terbahak-bahak mendengar pertanyaan Ray, walau terlihat
sedikit meringis kesakitan karena ia memang belum bisa terlalu banyak bergerak.
“menurut lo Ray? Hahaha” ucap Shilla santai.
“Ray, kamu apaansi. Masa gitu nanyanya.” Omel Sivia yang lalu mencubit
lengan Ray.
Gabriel menggeleng sambil tersenyum melihat tingkah adik-adik kelasnya
in yang masih sangat terlihat seperti anak kecil itu.
“Ray Ray... engga mungkin gue suka sama lo. Lo terlalu baik buat gue,
daaaan terlalu telmi juga sih. Hahaha” ucap Shilla dan tak bisa menahan
tawanya.
“Jahat lo Shill, pacar gue nih.” Ucap Sivia bercanda.
“Terus kamu kenapa Chill sampe down banget kaya gini?” Tanya Gabriel
serius.
Shilla terdiam, mengingat semuanya. Cakka, pria yang tak pernah mau
menyingkir dari otak ataupun hatinya, pria itu terlalu menjadi candu untuk
Shilla. Sehingga ia pun tak mengerti mengapa harus menangisi pria itu. Pria
yang tak pernah ia harapkan untuk mengisi hatinya sampai sekarang. Shilla
memejamkan matanya, menahan butiran itu agar tidak terjatuh lagi. Jangan,
jangan lagi. Karena jika satu butir saja terjatuh Shilla yakin yang lainnya
akan menyusulnya dengan cepat.
Shilla membuka matanya lagi, menarik nafas sedalam-dalamnya lalu
menggeleng cepat. “gapapa.” Ucapnya lalu terseyum.
Ia terpaksa berbohong lagi, berbohong pada ka Arel, Ray, dan sahabatnya
Sivia. Bahkan ia berbohong pada dirinya sendiri, pada hatinya yang pasti akan
terluka lebih parah lagi dari ini.
Sivia tau Shilla berbohong, sekarang Sivia mengerti. Teryata walaupun ia
sudah menpunyai ka Arelnya dan Ray ia belum juga bisa melupakan Cakka. Tatapan
mata Shilla masih sama, sama seperti dulu saat ia mencoba membohongi Sivia,
Ify, Agni, dan Zahra. Sivia tau sekali tatapan mata itu, ada keperihan hatinya
karena kepura-puraannya untuk terus mengakui bahwa ia tak pernah menyukai
Cakka. Padahal nyatanya? Sivia tau di hati Shilla masih ada pria itu. Tapi
Shilla terus mencoba menyangkalnya.
“eh udah malem nih, gue sama Sivia balik dulu ya Shill. Lo istirahat
yang cukup. Jangan sampe down kaya gini lagi ya.” Kata Ray mencairkan suasana
yang hampir menjadi beku itu.
“Eh emang sekarang jam berapa? Maaf udah ngerepotin kalian berdua ya.”
Ucap Shilla.
“Jam 10 malem Chill.” Kata Gabriel.
“Gapapa Shill, kita pulang dulu ya. Besok gue bakalan kesini lagi kok
nemenin lo. See you.” Ucap Sivia lalu keluar dari ruangan Shilla bersama Ray.
Keadaan menjadi sunyi. Sepi. Gabriel dan Shilla larut pada pikirannya
masing-masing.
“Chill...”’ panggil Gabriel.
Shilla menoleh. “ya kak?” tanyanya santai.
“belum mau cerita?” Tanya Gabriel.
“cerita apa?” Tanya Shilla dengan wajah bingung, sebenarnya Shilla tau.
Tau sekali apa yang Gabriel maksud.
“yaudah kalo belum mau cerita, tapi kamu harus tau. Aku bakalan selalu
ada buat kamu kalo kamu butuh aku.” Ucap Gabriel mengelus lembut rambut panjang
Shilla.
Shilla tertegun mendengar kata-kata terakhir Gabriel. Ia memejamkan
matanya. Apa benar ka Arel akan selalu ada jika ia membutuhkannya? Nampaknya
tidak. Buktinya............ hari ini. Shilla membuka kembali matanya lalu
tersenyum menahan perih teramat dalam yang ia rasakan. Sungguh, ia tak suka
bila rasa sakit itu terlalu terasa, apalagi sampai seperih tadi, seperih ini.
“kamu kenapa Chill?” Tanya Gabriel lagi.
“i’m fine. Totally fine.” Ucap Shilla lalu tersenyum.
*
Akankah semua kenangan itu akan tetap selalu menjadi kenangan?
Gabriel mengerjapkan kedua matanya. Terbangun dari tidurnya. Matanya
membelalak. Kenapa dia bisa ada di kamarnya? Bukannya semalam ia ada dirumah
sakit menemani Chilla? Lalu? Ia juga sudah berganti pakaian? Kenapa bisa
begini?
Gabriel bangkit dari tempat tidurnya, mereganggkan otot-otot tangannya.
Lalu berjalan kearah pintu kamarnya dan segera membukanya lalu keluar. Gabriel
celingak-celinguk melihat kesekeliling rumahnya. Dilihatnya satu pembantunya
lewat didepannya dengan sopan.
“bi..bi..” panggil Gabriel pada pembantu itu.
“iya den?”
“Mama mana? Ada dirumah kan?”
“ada kok den, tadi nyonya lagi di dapur.”
“oh yaudah, lanjut kerja deh bi. Makasih ya.” Ucap Gabriel dan langsung
berjalan dengan cepat kearah dapur.
Sesampainya disana Gabriel langsung mencari sosok mamanya yang ternyata
sedang membuat teh hangat.
“Mam?” panggil Gabriel.
“Eh Rel. Udah bangun? Baru jam 5 pagi loh.” Ucap Mama Gabriel yang
melihat kehadiran Gabriel.
“kok Arel bisa dirumah mam? Bukannya Arel semalem nemenin Chilla ya?”
Tanya Gabriel sedikit bingung.
“oh itu, ia semalem kamu dianter pulang sama supirnya Chilla. Kata Oma
Chilla, dia kasian sama kamu, hari ini kan kamu sekolah.” Kata Mama Gabriel.
“ohh.. ma, hari ini Arel boleh ngga, gausah sekolah? Hehe.” Ucap Gabriel
menimbang-nimbang, takut mamanya khawatir lagi pada dirinya.
“loh? Mau ngapain emangnya Rel?”
“mau nemenin Chilla mah.... mm, lagipula hari ini kan Cuma classmeeting,
boleh ya maa?” pinta Gabriel.
“mmm, bukannya engga boleh Rel, tapi kamu kesekolah dulu ya sebentar?
Kamukan OSIS harus tanggung jawab Rel.”
“Iyadeh mah. Nanti Arel semepetin kesekolah dulu deh.” Ucap Gabriel
bersemangat.
“Yaudah sana mandi. Udah jam setengah 6 tuh.” Ucap Gabriel.
Tanpa menjawab apa-apa Gabriel udah kabur duluan ke kamar mandi. Dan
bersiap ke sekolah.
*
Aku rindu. Tapi rindu yang aku rasakan kini sangatlah sakit. Inikah
namanya rindu tak terbalaskan?
Sivia memasuki kelas bersama Ray sambil mengobrol dan tertawa. Karena
hari ini hanya Classmeeting dan pemberitahuan remedial, jadi Ray memilih duduk
di bangku yang ada disebelah tempat duduk Sivia.
“Ray.” Panggil Ify yang baru saja bangkit dari tempat duduknya.
“kenapa Fy?” Tanya Ray
“tadi bu Reni nyuruh gue nanya ke lo, katanya gimana keadaan Chilla? Dia
sekarang dimana? Terus katanya kapan udah boleh masuk?” Tanya Ify sedikit
gemetar. Ah, dia berbicara tentang Chillanya. Sungguh dadanya sedikit terasa
sesak. Ingin rasanya ia bertanya langsung pada Shilla saja.
“oh. Baik-baik aja. Sekarang masih di RS Cornelius, gue sih gatau kapan
boleh masuknya. Tapi...... mungkin besok juga udah boleh masuk deh.” Ucap Ray
santai, karena ia memang tak terlalu menadari kedekatan Ify dan Shilla yang
sedang rapuh sekarang.
Ify mengangguk. “Thanks” Ucapnya singkat lalu membalikan tubuhnya untuk
segera keluar dari kelas. Ify sudah tak kuat untuk menahan tetesan air dari
kedua matanya.
Ray menghadap kearah Sivia lalu meatap Sivia seakan bertanya
dia-kenapa-kaya-gitu-? Lalu Sivia hanya
menjawabnya dengan mengangkat kedua bahunya lalu menggelengkan kepalanya untuk
meyakinkan Ray bahwa ia benar-benar tidak tau apa-apa.
Sebenarnya Sivia tau, sangat tau apa-apa, sangat tau apa yang telah
terjadi pada Ify dan Shilla. Tapi Sivia tak ingin bercerita pada Ray. Karena
tak yakin Shilla akan suka jika ia bercerita pada Ray. Kalau memang ia ingin
bercerita dengan Ray, pasti ia sudah bercerita dari awal.
Sivia tau, bukan hanya hubungannya dengan Shilla saja yang berantakan.
Tapi, juga hubungan Shilla dengan Zahra dan Agni bahkan Ify teman dekatnya
sedari kecil. Entahlah Sivia tak pernah
mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Yang ia tau, dulu Zahra dan Agni yang
pertama menjauhi Shilla. Padahal Shilla tak terlihat melakukan sesuatu yang
membuat Zahra ataupun Agni marah.
Begitu juga Ify, yang Sivia tau sebelum Sivia menjauhi Shilla. Ify sudah
lebih dulu dijauhi Shilla. Entah karena apa, tapi setelah Ify mengikuti lomba
pramuka dengan sebelumnya mengikuti latihan berminggu-minggu hubungan mereka
memang sudah agak menjauh, lebih terlihat lagi ketika Shilla memilih berpindah
tempat duduk, ketempat yang jauh dari Ify. Mungkin semuanya ada sangkut pautnya
dengan Cakka, tapi Sivia tak pernah mendengar kalau Ify menyukai Cakka. Malah
Ify sekarang sudah jadian dengan Deva kan? Ah entahlah. Sivia sendiri juga tak
mengerti apa yang terjadi.
Sivia masih terlarut dalam lamunannya ketika Ray mengagetkannya.
“Viaa...” panggil Ray.
“ha? Kenapa?” Tanya Sivia setengah gugup.
“kamu yang kenapa Vi.” Ucap Ray.
“aku? Kenapa? Aku gapapa kok.” Jawab Sivia berusaha meyakinkan.
“mm, iyadeh terserah kamu. Eh aku mau ke toilet dulu ya.”
“yaudah, jangan lama-lama ya..”
Setelah Ray keluar dari kelas, kelas terasa sunyi. Hanya ada beberapa
anak perempuan yang sedang asik mengobrol –lebih tepatnya menggosip- di meja
paling depan.
Karena merasa bosan, akhirnya Sivia memutuskan untuk memainkan
handphonenya saja. Ia membuka jejaring social yang sedang menjadi trend jaman
sekarang. Lalu mengutak-atik handphonenya sesuka hatinya.
“Via, udah jadian ya? Selamat yaa!” tiba-tiba sebuah suara
mengagetkannya. Ia mendongak melihat siapa yang ada dihadapannya sekarang. Oh
Agni dengan Zahra.
“eh? Haha iya makasih. Tau darimana?” Tanya Sivia.
“tau dari siapa ya? Penting ngga sih nanya gitu saat satu sekolah udah
pada tau semua? Hahahaha” ucap Agni.
“hehe bisa aja.” Ucap Sivia malu-malu.
“kok bisa sama Ray sih?” Tanya Zahra penasaran.
“ceritanya panjang. Itu juga dibantuin Shilla. Hehe”
“oh.” Kata Zahra dengan suara datar. Nama itu.... ah, mending tidak usah
di teruskan lagi percakapanya. Sudah cukup tersiksa Zahra akhir-akhir ini
karena terus berpura-pura tegar.
Tiba-tiba Ray masuk ke dalam kelas dengan tergesa-gesa.
“Vi, ayo ke rumah sakit temenin Shilla. Kak Gabriel juga mau kesana.
Kita bareng aja.”’ Ucap Ray sambil menarik tangan Sivia. “eh ada kalian, hai
ra, hai ni.” Sapa Ray ketika menyadari ada Agni dan Zahra disana.
“gue duluan ya guys. Bye” ucap Sivia disertai senyum pada Zahra dan
Agni.
*
Gabriel berkali-kali melihat jam yang tertata rapi di tangannya. Sudah
jam 9. Ia harus menemani Shilla sekarang. Jadi ia harus mencari Kiki selaku
ketua OSIS untuk memita izin agar dibolehkan pulang duluan. Tadi ia juga sudah
janjian bersama Ray dan Sivia untuk pergi bersama.
Itu Kiki, akhirnya ia bertemu juga, ternyata Kiki sedang berada didepan
kelas 7E yang tepatnya disebelah kelas Shilla. “Woy ki!” panggil Gabriel.
“weh Gab, kenapa?” Tanya Kiki si ketua OSIS yang mukanya standard tapi
cukup banyak di gilai perempuan di sekolah karena sikapnya yang sangat
beribawa, sopan dan pintar juga. Tapi tetep saja Gabriel adalah anggota OSIS
yang paling mempunya banyak fans diantara anggota OSIS lainnya.
“gue izin pulang duluan ya.” Pinta Gabriel.
“mau ngapain emangnya? Buru-buru amat. Biasanya juga betah disekolah.”
“Putri gue lagi dirumah sakit, masa gue betah disini? Pangeran macem apa
gue? Haha” ucap Gabriel.
“yeehh, ngarep. Haha yaudah. Hati-hati Gab, salam buat si Ashilla ya.”
“salam-salam aja. Gaboleh-gaboleh.” Ucap Gabriel bercanda.
“kenapa? Takut kesaing? Hahaha.” Ucap Kiki.
“emang yakin banget lo bakal nyaingin gue? Hahaha. Udah ah gue pergi ya
Ki. Udah ditungguin nih. Bye” ucap Gabriel yang langsung ngibrit ke arah
elevator gedung itu.
Gabriel turun dengan santainya mencari Ray dan akan segera menuju
kerumah sakit. Gabriel benar-benar tak tau kejadian setelahnya ditempat yang
sama.
Zahra, keluar dari kelas di saat Gabriel sedang asik mengobrol tadi
dengan Kiki. Zahra dengar, dengar semua apa yang telah keluar dari mulut
Gabriel. Jadi....... benarkah tak pernah ada cinta untuknya? Cinta Gabriel
sedari dulu memang hanya untu Shilla? Shilla? Dan Shilla? Ha.Ha.Ha Zahra bodoh!
Memangnya ia siapa? Ia Cuma seorang perempuan yang baru kenal dengan Gabriel.
Perkenalan mereka juga bukan hal yang istimewa, perkenalan biasa.
Tapi bagaimanapun juga Zahra mencintainya, Gabriel juga pernah
memberikan perhatiannya kepada Zahra. Jadi...... Zahra tak salah bukan jika
merasakan sesak dan kesal? Tapi, percuma juga sih memangnya Gabriel akan
mempedulikannya? Jangankan mempedulikannya, mempunyai waktu untuk bertemu
dengannya saja sudah tidak pernah. Sungguh, kata-kata Ray di kelas tadi sudah
cukup membuat runtuh pelindung hatinya. Lalu sekarang? Ia dengar langsung dari
Gabrielnya? Hatinya benar-benar terluka, seperti di sayat-sayat hingga bernanah.
Zahra menggeleng-gelengkan kepalanya. Tidak. Dia tidak boleh cemburu
sama Shilla. Tidak. Bagaimanapun caranya ia harus melupakan Gabriel dan biarkan
Gabriel bahagia dengan Shilla. Zahra menghapus butiran-butiran bening yang
sudah menetes melewati pipinya. ‘Zahra kuat, Zahra kuat!’ batinnya menguatkan.
Zahra berlari ke dalam kelas. Lalu duduk disebelah Agni.
“Ra, lo kenapa? Tadi katanya engga apa-apa denger kata-kata si Ray? Kok
sekarang malah nangis sih Ra?” Tanya Agni.
Zahra terdiam. Tangisnya malah semaki meledak mendengar kata-kata Agni
barusan.
“Ra, jangan nangis dong Ra. Lo kenapa? Cerita ya sama gue?” ucap Agni
lagi sambil langsung memeluk Zahra.
Sungguh. Keadaan seperti ini semakin membuat Zahra merasa rapuh. Zahra
muak dengan semuanya. Segala kenangan tentang Gabriel memenuhi di otaknya.
Pulang sekolah. Tangga. Gabriel. Perkenalannya.
Marah dengan Sivia. Tangisannya. Pelukan Gabriel.
Berbaikan dengan Sivia. Shilla. Dan perusak kebahagiannya bersama
Gabriel.
Zahra memeluk erat tubuh Agni dengan terus berusaha menyudahi
tangisannya. Tapi ingatannya tentang Gabriel, tentang kebaikan Shilla, tentang
ketakutannya akan kehilangan Gabriel terus menyeruak diotaknnya.
Zahra menarik nafasnya, perlahan-lahan tangisannya bisa ia hentikan. Ia
melepaskan pelukan Agni, menghapus sisa-sisa air matanya. Mengambil air minum
dari tasnya lalu meminumnnya. Ia terus berusaha menetralkan segalanya, hatinya,
fikirannya. Anggap saja sedari tadi tak terjadi apa-apa. Ingat Zahra. Kamu.
Bukan. Siapa-siapanya. Dia. Ingat itu!
“ra? Perasaan lo udah baikan? Lo kenapasih? Cerita ya sama gue.” Ucap
Agni ketika melihat Zahra sudah terlihat tenang.
Zahra menggeleng. “gue gapapa kok ni, Cuma tadi ngerasa sedikit pusing
aja. Hehe.” Ucap Zahra.
“yakin?” Tanya Agni.
Duh, Agni ini. Kenapasih? Udah tau Zahra benar-benar ingin melupakan
segalanya sekarang.
“mmm, yaudah kalo engga apa-apa. Tapi, kalo lo pengen cerita sama gue
cerita aja. Gue bakalan selalu siap kok buat dengerin.”
Zahra tersenyum lalu mengangguk. “thanks ni.” Ucapnya lalu memeluk Agni.
*
Shilla sedari tadi hanya sendirian di kamar. Sungguh sangat membosankan!
Tak ada kegiatan yang dapat ia lakukan selain mengutak-atik handphonenya.
Memasukan username twitternya dan tak lupa passwordnya juga. Tak perlu menunggu
lama, time line twitter Shilla telah terlihat di layar handphonenya. Mengecek
mentionnya dan membalasnya satu-satu. Tak ada yang special disana, hanya
tertera beberapa ucapan get well soon untuknya. Selebihnya sapaan biasa. Shilla
mengetikan beberapa kata lalu menekan tombol ‘tweet’ isi tweetnya Shilla tidak
penting hanya ‘bosen. bosen. dirumah sakit engga ada kerjaan. engga ada temen.
sumpah berasa jadi orang yang lagi di asingin taungga.’ lalu ada beberapa
temannya yang membalasnya dengan kalimat-kalimat yang menyuruh Shilla untuk tetap
bersabar.
Shilla meng-close aplikasi twitter di handphonenya tanpa meng-sign out
accountnya. Lalu melihat jam yang tertera di layar handphonenya. Baru pukul
09.30 pagi. Pasti ka Arel, Ray, dan Sivia masih disekolah. Huh, Shilla terus
berusaha untuk menahan rasa jenuhnya. Shilla menekan tombol turn off di
handphonenya. Percuma juga pasti tak ada hal yag penting. Lalu ia memutuskan
untuk merebahkan badannya di kasur setelah sebelumnya mengambil sepotong
biscuit kesukaannya yang seharusnya menjadi makanan bayi.
Saking jenuhnya, kemudian Shilla mengambil remote televisi yang ada di
nakas sebelah tempat tidur rumah sakitnya. Shilla menekan tombol power kemudian
mencari-cari saluran yang menurutnya
bagus. Sudah tiga kali Shilla hanya mengganti-gantinya tanpa menonton
acara yang ada di hadapannya. Semuanya membosankan. Sungguh.
Akhirnya Shilla memutuskan untuk menonton sebuah ftv di sebuah saluran
tv swasta. Sebenarnya Shilla tak terlalu menyukai ftv-ftv seperti ini, karena
menurutnya ceritanya selalu tak masuk diakal, bahkan kadang terlalu ‘sok’ so
sweet yang membuat Shilla bergidik geli melihat adegannya. Masa iya sih
seseorang bisa jatuh cinta karena hanya bertabrakan? Tapi apa boleh buat, dari
pada ia menonton gossip yang tak ada habis-habisnya. Iyakan?
Shilla tak begitu fokus pada televisi didepannya, berkali-kali matanya
mengarah kearah pintu masuk, kali aja ada seseorang yang menjenguknya dan
menghiburnya. Sungguh ruangan sebesar ini jika ditempati sendiri rama-rama
seram juga.
15 menit waktu berselang, lama kelamaan ia terhanyut juga pada ftv yang
sedang ia tonton. Walau tetap saja ia tak terlalu fokus pada yang ia lihat.
Tiba-tiba pintu ruangannya terbuka. Terimakasih tuhan! Ucapnya dalam
hati. Iapun melihat 3 orang masuk kedalam ruangannya. Ah, Sivia, ka Arel dan Ray rupanya. Rasa bosannya langsung
menguap secara cepat berganti dengan rasa senang yang memenuhi dirinya. Shilla
menyambut mereka dengan senyum manis khasnya. Lalu tanpa disuru Ray sudah duduk
di sofa yang berada di ruangan Shilla.
“Hai Shill.” Sapa Sivia sambil berjalan mendekati Shilla.
“Hallo vi. Hai kalian semuaa!!” ucap Shilla dengan riang.
“kenapa deh lo Shill? Kaya orang kesepian yang baru nemuin temen aja.”
Ucap Ray santai.
“emang!” kata Shilla tak kalah santainya. Memang keadaannya seperti itu
kan? Shilla merasa amat sangat kesepian sedari tadi pagi di ruangan yang
‘lumayan’ besar ini.
“udah minum obat Shill?” Tanya Gabriel yang sedang menarik kursi
mendekat kearah ranjang Shilla agar ia bisa duduk disamping gadis itu.
“udah kok kak, sekalian sarapan tadi pagi. Hehe” jawab Shilla.
Tiba-tiba ada seorang suster yang masuk keruangan Shilla setelah
sebelumnya mengetuk pintu ruangan dan dipersilahkan masuk oleh Shilla. Dengan
cepat suster itu mengecek perkembangan kesehatan Shilla. Tanpa ditanya suster
itu sudah memberitahukan duluan tentang keadaan Shilla.
“Ashilla. Sekarang keadaan kamu semakin membaik. Tapi kamu masih harus
tetap beristirahat di sini untuk beberapa hari. Kemungkinan besok kamu sudah
bisa pulang. Yang terpenting kamu jangan telat makan, dan harus rutin minum
obat, dan jangan terlalu banyak pikiran juga karena itu hal yang paling bisa
menghambat kepulangan kamu dari sini.” Ucap suster itu ramah disertai senyum
yang sedari tadi ia tunjukan.
Shilla mengangguk dan membalas senyuman suster ramah itu. “iya suster.”
Jawab Shilla.
“saya permisi dulu. Nanti siang akan saya akan mengatarkan makanan dan
obat untuk kamu, sekalian meriksa keadaan kamu lagi. Kalo memang sudah
benar-benar baik, besok kamu sudah benar-benar boleh pulang.” Ucap suster itu
lalu meninggalkan orang-orang yang ada diruangan dengan sangat sopan.
“noh Shill dengerin, jangan banyak pikiran makanya. Mau cepet pulang gak
lo?” Kata Ray asal setelah suster itu benar-benar menghilang dari balik pintu.
“apaansih.” Ucap Shilla merasa risih dengan ucapan Ray. Kalau
dipikir-pikir ucapan Ray benar juga. Akhir-akhir ini Shilla memang sedang
banyak fikiran sekali. Entah ia memikirkan apa. Eh tidak-tidak ia tau, ia
memikirkan apa..... tapi ah sudahlah. Penting tidak sih saat suster menyuruhnya
untuk menenangkan pikirannya ia malah membebani fikirannya lagi? Hahaha tidak.
Tidak akan!. Shilla menggeleng-gelengkan kepalanya sendiri.
“tuhkan baru aja diingetin udah di ulangin lagi.” Ucap Sivia yang
melihat tingkah Shilla sambil ikut menggeleng-gelengkan kepalanya.
“eh? Engga kok.” Ucap Shilla terhenyak dari lamunannya.
“kak gue laper, tadi ngga sempet sarapan dirumah. Tadi kantin juga sepi,
engga ada yang jualan. So, gue mau cari makanan dulu dibawah. Lo mau ikut ngga?
Atau Sivia mau ikut ngga?” Tanya Ray.
“ gue laper sih Ray, tapi nanti siapa yang jagain Shilla kalo gue ikut
juga?” Tanya Gabriel balik.
“mmm, aku engga mau ikut kok kak. Jadi kalo kalian mau kebawah Shilla
biar sama aku aja.” Ucap Sivia yang sedang duduk disamping Ray.
“yaudah aku kebawah ya, kamu mau nitip apa gitu? Biar sekalian aku yang
beli.” Ucap Ray langsung berdiri.
“aku nitip coklat aja deh Ray. Hahaha” Ucap Shilla diikuti tawa
terbahak-bahak dari mulutnya.
“bukan loooo.” Ucap Ray sewot.
“Hahaha. Aku nitip roti aja deh Ray.” Kata Sivia dengan cepat.
“oke deh.” Kata Ray lalu keluar dari ruangan itu bersama Gabriel.
Tinggalah berdua Shilla dengan Sivia diruangan ini. tak ada sepatah
katapun yang keluar dari mulut mereka berdua. Shilla ‘sok’ sibuk dengan
televisi didepannya, sedangkan Sivia perhatiannya sedang terarah ke gadgetnya.
Sivia merasakan ada sesuatu yang asing disini. Sehingga ia memutuskan untuk
berhenti memaikan gadgetnya, atau keadaan semakin benar-benar dingin.
“ehm..” Sivia berdehem tak kentara. “Shill...” ucapnya sedikit pelan.
“ya?” ucap Shilla mengalihkan pandangannya dari Televisi menghadap
kearah Sivia lalu tersenyum.
“kita... mm, kita..... musuhan lumayan lama juga ya. Hehe” Ucap Sivia
sambil menimbang-nimbang.
“haha iya ya Vi, ganyangka. Ganyangka juga sih kita baikannya dengan
cara kaya gini. Hehe” jawab Shilla yang tak mengalihkan pandangannya dari wajah
Sivia yang terlihat sedikit salah tingkah.
“gue lebih ganyangka ternyata gue bisa punya pikiran buat cemburu sama
lo. Haha maaf ya Shill.” Ucap Sivia malu-malu.
Shilla tersenyum lalu terdiam.
Keadaan kembali hening.
“Shill... mm, lo sebenernya kenapasih? Gue tau pasti ada yang lagi lo
pikirin kan? Tentang apa? Atau.... tentang siapa?” ucap Sivia takut-takut, ia
takut kalau ucapannya malah membuat Shilla sedih lagi. Tapi apa boleh buat,
menurut asumsinya Shilla tak boleh menyimpan beban pikirannya sendiri lagi
sekarang.
“gue? Gue gapapa kali vi. Serius deh. Gue Cuma kecapean aja kemaren abis
ujian jadi banyak pikiran. Hehe.” Ucap Shilla asal. Yang penting Sivia tak
terlalu ingin tau atau bahasa gaulnya anak jaman sekarang mah ‘kepo’ lagi
kepada dirinya.
“gue serius loh Shill.”
“gue juga kok Vi, lo engga usah ngawatirin gue, gue engga kenapa-kenapa
kok.” Ucap Shilla disertai seyum manisnya. “nanti juga lo bakal tau apa yang
lagi gue fikirin akhir-akhir ini” tambahnya dalam hati.
Sivia mengangguk
pasrah. Mungkin Shilla memang belum mau cerita. Namun ia yakin sangat yakin,
kalau Shilla sedang menutupi sesuatu darinya.~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
PART 15
Merkur 15c Safety Razor - Barber Pole - Deccasino
BalasHapusMerkur https://deccasino.com/review/merit-casino/ 15C Safety Razor - worrione Merkur - 15C for Barber Pole is the perfect introduction to the Merkur septcasino Safety https://sol.edu.kg/ Razor. https://febcasino.com/review/merit-casino/