Sebuah pintu telah terbuka sekarang. Yakinlah, ketika satu pintu terbuka
pasti akan lebih mudah untuk membuka pintu-pintu lain.
Sedari tadi Ray mundar-mandir di ruang tamunya sambil memegang diary
Sivia dan Handphonenya. Sekarang ia memutuskan untuk duduk di bangkunya lalu
mencoba mengirim pesan singkat kepada Sivia.
To : Sivia
Ini Sivia?:)
Tadinya Ray hanya mengirimkan kalimat ‘ini Sivia?’ tapi karena
menurutnya terlalu kaku akhirnya ia memutuskan untuk menambahkan tanda ‘:)’ di
akhir kalimatnya.
Tak lama Ray menunggu tiba-tiba ada balasan pesan singkat masuk ke
handphonenya. Entahlah, sensasi apa ini, tapi sungguh dadanya tiba-tiba
bergemuruh. Detak jantungnya terasa lebih cepat. Ia benar-benar seperti tak
sabar. Jadi? Apa sebenarnya ia telah memiliki rasa yang sama dengan Sivia?
Namun ia hanya tak pernah berhasil menafsirkannya. Entahlah.
From: Sivia
Yap. Ini siapa ya?
Ah, detak itu terasa lebih cepat sekarang. Benar-benar cepat. Tuhan,
mungkin memang ia telah jatuh cinta pada gadis disebrang sana. Sahabat dari
Sahabatnya yaitu Shilla.
To: Sivia
Gue Ray vi:) gue blh nanya sesuatu?
Entahlah, Ray merasa seperti orang linglung, mengapa ia harus
mengirimkan kalimat itu? Lagipula ia ingin menanyakan apa. Namun apa boleh
buat, pesannya sudah Ray kirim. Ia hanya bisa menahan debaran-debaran di
dadanya yang semakin terasa tak normal.
From: Sivia
Oh, tau dr mana nmr gue? Blh, nanya apa?
To: Sivia
Gapenting tau dr mana, yg penting gue punya nmr lo;) emm... emg bnr lo
suka sm gue?
Sumpah demi tuhan. Itu adalah pertanyaan terbodoh yang pernah laki-laki
tanyakan pada seorang perempuan. Aduh, Ray ini memang paling-paling ya kalau
soal beginian. Ia memang tak pernah merasakan jatuh cinta sebelumnya. Tapi,
pertanyaannya memang terlalu polos jika ditanyakan kepada seorang perempuan.
From: Sivia
Oke kalo gt. Ha? Kata siapa?
To: Sivia
Em... kata siapa ya... kata hati gue vi. Hehe soalnya kalo emg lo suka
sm gue, gue jg ngerasain itu:)
Memang terlalu cepat untuk Ray berbicara seperti itu, tapi memang itu
adanya. Lagipula Ray tak pernah suka berbasa-basi. Ah bodolah, yang penting ia
sudah merasa sedikit lega sekarang.
From: Sivia
Oh ya? Kalo gue gasuka gmn?:p
Deg. Jantung Ray tiba-tiba terasa ingin copot. Jadi... sebenernya ini
Diary siapa? Apa Shilla membohonginya? Ah tidak mungkinlah Shilla seperti itu.
Ray benar-benar bingung, dadanya terasa sedikit sesak.
To: Sivia
Gue serius. Kl emg gasuka gpp ko. Sorry kl sotau.
Jawabannya sungguh seperti orang putus asa.
From: Sivia
Lo gk sotau ko. Iya gue sk sm lo Ray. Skrng kasih tau gue, lo tau drmn?
Ha? Jadi Sivia benar-benar menyukainya? Sungguh rasa sesak tadi benar-benar
tak terasa lagi sekarang. Digantikan oleh bunga-bunga yang mulai bermekaran di
hatinya. Alah, berlebihan nampaknya.
To: Sivia
Jd bnr? Gue tau dr.... emm... bsk aja gue ksh taunya. Pas Istirahat gue
tunggu di kantin ya nona cantik;)
From: Sivia
Tau drmn? Ah lo bikin penasaran... bsk ya? Istirahat? Yaudahdeh:)
To: Sivia
Adadeh:p sip. Gnignt Via:) hv a nice dream yaa:)
*
Kupu-kupu itu sepertinya mulai tumbuh. Menjadi lebih indah daripada
sebuah ulat yang menjijikan.
Sivia mengobrak-abrik kamarnya sedari tadi. Mencari-cari buku diary
kesayangannya. Namun sialnya sampai saat ini ia belum berhasil menemukannya
juga. Belum selesai ia menemukan diarynya ia dikagetkan oleh getaran
Handphonenya di saku.
“dari siapasih ih? Ganggu nih udah tau lagi ribet gini.” Omelnya entah
pada siapa.
Ternyata yang mengirimi Sivia sms adalah nomor tak dikenal. Makin
membuat Sivia merasa kesal saja. Sivia membalas pesan itu secara asal. Lalu
kemudian fokus terhadap barang yang Ia cari tadi.
Belum sampai semenit ia mengabaikan handphonenya, barang kecil itu
bergetar lagi. Sivia terkesiap melihat nama siapa yang tertera di layar
handphonenya. Apa? Ray? Jantungnya berdetak hebat, darahnya mengalir lebih
cepat. Ada apa pada dirinya?
Sivia serius dengan handphonenya sekarang, melupakan diarynya yang
sedang ia cari tadi. Sungguh, ternyata Ray ramah sekali. Berbeda dengan di
sekolah. Tapi, bukannya setiap orang memang memiliki sisi baik bukan?
Ia membaca pesan terakhir dari Ray. Apa? Ray mengucapkan GoodNight?
Untuknya? sumpah demi tuhan, malam ini benar-benar terasa seperti mimpi. Sivia
memeluk handphonenya, seakan-akan sedang mendekap Ray. Ah, ia tidak sedang
bermimpikan? Benar-benar tidak bisa dipercaya. Sivia daritadi masih saja terus
tersenyum, seakan-akan ia tak bisa berhenti tersenyum lagi sekarang. Ray telah
memberikan semangat hidupnya.
Besok Ray mengajaknya bertemu. Untuk apa ya kira-kira? Ah entahlah.
Sekarang ia harus pergi tidur dan bersiap untuk besok.
*
Cinta tak bisa ditebak, kapan datangnya, kapan perginya. Begitu juga
kedatangan dirimu yang tak pernah aku perkirakan sebelumnya.
Saat kenangan lama itu telah ditemukan, ternyata harus ada kenangan baru
yang menghilang.
Keesokan harinya. Jam istirahat.
Sivia sedari tadi sibuk melihat jam tangannya.
‘ayodoong liftnya jangan penuh lagi pleaseee’ ucapnya dalam hati.
Sekarang sudah lebih 10 menit dari waktu istirahat. Pasti Ray sudah
menunggunya. Haduuh, Sivia benar-benar panik. Untung pintu liftnya segera
terbuka dan tidak terlalu banyak yang naik. Di dalam lift Sivia masih saja
sibuk memperhatikan jam tangannya.
Saat keluar dari lift, Sivia langsung berlari menuju kantin. Tak peduli
se-ramai apapun keadaan sekitarnya. ‘semoga Ray masih menunggunya’ batinnya
lagi.
Akhirnya sampai juga di kantin. Sivia menoleh ke arah kanan dan kiri.
Gawat, dimana Ray? Kenapa ia belum juga bisa menemukannya? Apa Ray......... eh
itu dia. Sivia langsung bergegas kearah Ray yang sedang asik bermain gadgetnya
sambil meminum jus alpukatnya.
“hai” sapa Sivia ketika sampai di meja yang di duduki Ray.
“eh via. Hai. Sini duduk” jawab Ray sedikit salah tingkah.
“emm.. makasih. Sorry telat. Tadi di suruh ke ruang guru sebentar” jawab
Sivia sambil terus berusaha menutupi ke gugupannya.
“noprob. Nunggu sebentar doing mah gaada apa-apanya. Asal jangan disuruh
nunggu setahun aja. Haha” jawab Ray asal.
Muka Sivia memerah, entah karena apa. Sungguh, sudah lama sekali ia tak
pernah merasa senyaman ini bersama seseorang. “jadii, lo tau dari siapa soal
yang semalem?” Tanya Sivia.
“ mm..... dari ini” ucap Ray menunjukan Diary Sivia.
Sivia membelalak, Diary nya...... kenapa bisa ada di Ray?
“kok bisa ada di lo?!” ucap Sivia dengan nada yang sedikit tinggi.
Sepertinya ia tak suka.
“tunggu...tunggu.. gue bisa jelasin vi” Ucap Ray menenangkan.
“jadi gini, gue dapet ini dari Shilla. Tapi tunggu duluu, lo jangan
marah sama dia dulu yaa. Jadi waktu kapan gitu lo pernah ketemu sama dia
dikelaskan? Nah pas itu lo jatohin ini didepan dia. Kata dia daripada dia
diemin terus besoknya diambil orang yang bertanggung jawab jadi mending dia
ambil. Tadinya dia enggak ada niat buat baca-baca tapi.... yagitu deh. Maaf ya
vi” jelas Ray panjang lebar.
Sivia menarik nafas sekali sebelum berbicara. “ oh.... iya gue inget
waktu itu.....”
“lo engga usah marah lagi ya vi sama Shilla. Gue sama dia engga pernah
punya hubungan apa-apa kok. Kita cuma sahabatan aja gak lebih. Malah dia yang
bantuin kita deket kan?”
“gue engga pernah marah sama dia Ray. Gue cuma ngerasa ngga enak aja ada
dideket dia kalo dia lagi sama lo. Harusnya gue yang bilang ke Shilla dia ngga
usah marah lagi sama gue” Ucap Sivia merasa bersalah.
“ lo engga salah kali Vi, cemburu itu wajar.” Kata Ray menenangkan. “mm,
kalo gue suruh Shilla kesini gapapakan?” Tanya Ray hati-hati. Takut membuat
Sivia cemburu lagi.
“ha? Ya engga laah.... gue malah pengen minta maaf sama diaa” Ucap Sivia
di sertai senyum. Manis sekali.
Ray mengambil handphonenya. Mencari nama Shilla di pesan singkatnya.
Lalu mengirimkan satu pesan singkat untuk Shila.
To: AshillaZ
Shill, dmn? Kantin deh skrng.
From: AshillaZ
Gue otw kantin. Knp?
To: AshillaZ
Gpp. Cr tempat gue ya!
From: AshillaZ
Iya. Bawel.
Ray menaruh kembali handphonenya kedalam sakunya. Tak lama kemudian
Shilla sudah ada dihadapaannya.
“Raayy!!” sapa Shilla ketika melihat Ray. “eh Sorry ada Via. Gue cari
bangku lain deh. Hehe” Shilla memutar balik tubuhnya. Lalu bersiap untuk
meninggalkan mereka berdua.
Belum ada selangkah Shilla berjalan, tangannya sudah di tahan oleh
Sivia. “Shill.... gapapa kok, lo disini aja” ucap Sivia disertai senyum. Bukan
senyum terpaksa. Senyum dari hati.
“gapapa nih? Hehe thanks vi”
“gue udah tau semuanya Shill. Sorry, gue cemburu sama lo. Gue tau
sebenernya gue engga berhak kok. Sorry banget.”
“lah? Kenapa minta maaf si Vi? Lo engga salah. Cemburu itu wajar kali.
Gue juga cewe kali vi. Hahaha” Ucap Shilla yang disertai tawa. “oiya maaf ya
kalo bikin lo cemburu. Gue ngga tau apa-apa. Lo ngga pernah cerita sih”
“bukannya engga mau cerita. Gue bingung. Lo kemaren-kemaren keliatan
galau banget sih. Masih gara-gara.......”
belum selesai Sivia berbicara Shilla sudah memotongnya. “iya gara-gara
gue kangen bokap nyokap vi. Hehe”
“ha? Oh. Hehe” ucap Sivia mengangguk mengerti maksud Shilla.
“eh gue ke meja lain ya. Engga enak ah gue. Haha”
“apaansih Shill. Lo sini aja temenin gue” ucap Sivia yang awajahnya
mulai memerah.
“dihahaha. Jadi? Kalian udah jadian?” Tanya Shilla dengan santainya.
“ha? Jadian?” ucap Ray dan Sivia berbarengan. Dengan nada kaget yang
sama pula.
“ciyeee kompak nih yee. HAHAHA” ledek Shilla.
“Shill, diem atau gue gigit lu?” omel Ray.
“HAHAHAHA. Udah ah gue mau minggat dari sini. Byee. Cepetan jadian kek
lo berdua. Biar nanti pulang lo berdua teraktir gue makan. Okee? Byeeee” ucap
Shilla lalu pergi meninggalkan Ray dengan Sivia berdua.
*
Kenangan, satu kata yang bisa membunuh seseorang yang merasakannya
secara perlahan.
Shilla berjalan menuju taman belakang. Entah kenapa, hatinya menyuruhnya
untuk berjalan kesana. Ketika melewati perpustakaan Shilla terdiam sebentar. Ia
menoleh kedalam perpustakaan. Terlihat siluet seseorang. Sepertinya ia kenal.
Ia melangkah menuju pintu perpustakaan. Mengintip ke dalam. Oh, Cakka, batinya
menahan sakit.
Ia memutuskan untuk melanjutkan perjalanan saja. Sambil setengah berlari
dan menahan rasa sesak yang terus menghantui hatinya. Entahlah, ia kenapa.
Mungkin ia hanya butuh waktu sendiri.
Shilla memasuki taman yang sehari-harinya memang sepi. Langit mulai
mendung. Segerombolan awan hitam mengarah keatas sekolah Shilla dan daerah
sekitarnya. Sepertinya akan turun hujan. Namun, Shilla tak peduli. Ia tetap
duduk di rerumputan yang terhampar luas di taman itu. Lagi-lagi Shilla mencoba
tak peduli pada sekitarnya. Bahkan pada
keadaannya sendiri.
Air perlahan-lahan turun. Bukan, bukan air dari langit. Melainkan air
dari mata gadis ini. Ia lelah selalu berpura-pura tegar di hadapan semuanya.
Hatinya terlalu rapuh sekarang. Seakan-akan setiap nafas yang ia hembuskan
sudah tak berarti apa-apa lagi. Shilla terlalu muda menahan beban seberat ini
sendirian.
Shilla bukannya tak pernah mau bercerita pada siapa-siapa. Tapi ia
bingung, siapa yang bisa jadi pendengar baik untuknya. Ray, entah mengapa
Shilla tak pernah ingin bercerita padanya, mungkin Shilla tau Ray bukan tipe
orang yang suka mendengar curhatan seseorang. Ka Arel, ia sekarang berubah. Entah
mengapa ia agak menjauh sekarang. Buktinya istirahat hari ini saja ia tak
menemui Shilla. Oma, beliau juga punya kesibukan sendiri, bukan hanya
mendengarkan curhatan Shilla.
Entahlah, Shilla benar-benar merasa tak berarti lagi sekarang.
Seakan-akan ia sudah tak di perlukan di dunia ini. Mengapa ia harus di ciptakan
jika tak pernah di pedulikan?
Shilla meringis, merasakan sakit di hatinya yang tak pernah sembuh. Air
matanya terus mengalir tanpa berhenti sedetikpun. Lalu hujan pun turun.
Beriringan dengan air mata Shilla. Sangat deras. Sedangkan bel masuk baru saja
terdengar beberapa menit lalu. Shilla tak peduli. Tak akan peduli. Biarkan ia
seperti ini, toh tak ada yang peduli juga padanya.
Hujan semakin deras, begitu juga air mata Shilla yang seperti tak ingin
kalah dengan hujan. Shilla memeluk dengkulnya. Kedinginan, kesepian, dan merasa
tak dibutuhkan. Itu yang Shilla rasakan sekarang.
Nafasnya mulai tak beraturan. Sial, penyakit sialan itu. Tapi toh ternyata
Shilla tak peduli juga dengan penyakitnya itu. Menurutnya rasa sakit yang ia
rasakan tak separah rasa sakit hatinya yang –mungkin- takkan pernah sembuh itu.
*
Ray masih memegang tangan Sivia saat bel masuk berbunyi. Ternyata mereka
baru saja meresmikan hubungan mereka yang sekarang sudah terikat status
pacaran. Sungguh, pendekatan yang sangat singkat. Hanya semalam.
Sivia benar-benar tak menyangka bahwa mimpinya menjadi kenyataan. Ia
berada di salah satu meja kantin. Hanya berdua dengan Ray. Ya berdua. Sungguh
mimpi terindah Sivia yang sekarang ternyata bukan hanya sekedar mimpi indah.
“Ray? Masuk kelas yuk. Udah bel” pinta Sivia.
“mm.. sebenernya aku males vi. Tapi demi kamu ngga apa-apa deh.” Ucap
Ray sedikit menggombal.
“wooo kamu bisa aja. Haha”
Ray dan Sivia pun berjalan menuju kelas. Masih berpegangan tangan.
Sungguh pasangan serasi. Padahal baru hari ini jadian tapi sudah se so sweet
itu. Ya ampuun.
Ray menuju kursinya begitu juga Sivia. Untung saja guru yang mengajar
belum masuk kelas. Ray menoleh kearah kursi Shilla. Kosong. Kemana Shilla? Padahal
di luar hujan deras. Ray sedikit panik lalu mengirimkan pesan singkat kepada
Sivia.
To: my Sivia{}
Shilla kmn ya? Kok gk ada?
Sivia yang menerima pesan singkat itu langsung menoleh kearah bangku
Shilla. Ternyata benar tak ada. Sivia ternyata ikut merasakan panic. Di luar
hujan deras. Tapi Shilla kemana?
From: my Sivia{}
Aku gatau. Tp dia kmn ya kira-kira? Diluar ujannya deres bgt, Ray dia
kmn?!!
Tepat saat Ray ingin membalas pesan singkat Sivia dan akan memberi tau Sivia bahwa ia
akan mencari Shilla ternyata ada seorang guru yang masuk. Ah, Shit, batin Ray.
To: my Sivia{}
Tdnya aku mau cr Shilla. Eh ada guru. Gmn dong? Oh aku tau. Aku cb suruh
kak Arel aja ya.
Ka Arel? Sahabat kecilnya Shilla kan? Memang dia ada disini? Ah bodo lah
yang penting sekarang Sivia tau keadaan Shilla. Itu yang paling utama. Sivia
menoleh kearah Ray yang ternyata saat bersamaan Ray sedang menoleh kearah Sivia
juga. Sivia mengangguk mantap kepada Ray pertanda bahwa ia setuju oleh usulnya
Ray.
To: Ka Gabriel
Kak, ada guru gk lo? Shilla gk ada dikls nih. Gue lg ada guru nih. Mana
diluar ujannya deres bgt. Gue takut dia knp-knp kak. Bisa tolong cari gk?
From: Ka Gabriel
Apa?! Shilla gk ada di kls? Gue lg gk ada guru kok. Oke gue cr skrng.
Ray bisa merasa lebih tenang sekarang. Setidaknya ada orang yang bisa
mencari Shilla. Begitu juga Sivia.
*
Hujan semakin deras saja. Ternyata air mata Shilla belum berhenti juga.
Berkali-kali ia menggigit bibirnya sendiri untuk menahan rasa sesak didadanya.
Asmanya kambuh. Sayangnya ia tak membawa inhalernya.
Shilla mencoba kuat seperti biasanya. Ia tau ia bisa. Tapi ternyata
Shilla salah, ia tak akan pernah bisa membohongi dirinya sendiri bahwa
sebenarnya ia sangat rapuh. Sangat-sangat rapuh. Ia sendiri tak mengerti
mengapa ia selalu mencoba kuat saat ia tau itu tak bisa bertahan lama.
Shilla memeluk dengkulnya dengan sangat erat. Tubunya memnggigil.
Nafasnya sudah tak karuan. Sekarang ia bernafas sebisanya saja. Yang penting ia
masih bisa bernafas. Tapi nyatanya Shilla tak lebih kuat dari derasnya hujan.
Sungguh, ia sudah tak bisa menahan dinginnya udara lagi. Paru-parunya seakan
sudah tak mau bekerja sama mengeluarkan zat karbondioksida lagi sekarang.
Nafasnya terasa berhenti. Jantungnya pun berdetak tak karuan.
Shilla tak peduli kapan ia akan pergi meninggalkan dunia ini. Shilla tak
peduli atau tepatnya mencoba tak peduli. Ia hanya ingin dibebaskan dari rasa
sakit hatinya. Sungguh, Shilla tak sekuat yang kalian lihat. Shilla lemah,
sangat lemah.
Posisi Shilla sudah berubah sekarang. Posisi tidur mengahadap ke kanan,
dan tangannya masih tetap memeluk dengkulnya dengan rapat.
Shilla menarik nafas sekuat mungkin, sedalam mungkin, sepanjang mungkin.
Lalu Shilla menghembuskannya, dan secara bersamaan kedua kelopak matanya
tertutup rapat.
“CHILLA!” Gabriel berteriak lalu berlari sekencang mungkin kearah
Shilla. Gabriel memeluknya. Lalu dengan cepat menggendongnya. Gabriel merasakan
jantung Shilla masih berdetak, haya saja nafasnya tak begitu terasa. Gabriel
tau pasti sebelum Shilla pingsan asmanya kambuh.
Gabriel sudah tak memperdulikan keadaan sekitar. Hujan deras seakan
mentari yang hangat bagi Gabriel. Yang ia pedulikan sekarang hanyalah
Chillanya, gadis kecilnya. Sampai-sampai ia tak sadar bahwa ketika ia melewati
toilet yang ada didekat taman itu ada seorang perempuan lain yang ikut
merasakan sakit hati yang teramat dalam. Zahra.
Gabriel bersama pihak sekolah langsung membawa Shilla kerumah sakit
terdekat. Gabriel sudah tak peduli lagi dengan bajunya yang basah kuyup.
Sedangkan Zahra, kakinya melemas. Lalu ia jatuh terduduk. Ternyata
dugaannya akhir-akhir ini benar. Gabriel sudah menemukan Chillanya. Gadis
kecilnya. Sekarang Gabriel sudah tak membutuhkan Zahra. Jadi, buat apa Zahra
terus mempedulikannya? Zahra sadar diri kok, bahwa dia tak ada apa-apanya
dibandingkan dengan Shilla. Shilla sudah lebih lama mengenal Gabriel, sedangkan
dia? Baru akhir-akhir inikan? So, Shilla tak pernah merebut Gabriel darinya.
Tanpa sadar air mata Zahra telah membasahi kedua pipinya.
Zahra menghapus air matanya sendirian, tanpa pelukan dari Gabriel lagi.
Ah sudahlah Zahra, apa yang kamu harapkan lagi sekarang?, batinnya mencoba
kuat. Ia merapihkan blazernya, merapihkan ekspresi wajahnya, mengembalikan
semangatnya. Entahlah, sampai kapan ia bisa bertahan seperti ini. Dalam keadaan
seperih ini.
*
Gabriel sudah sampai dirumah sakit, dan Shilla pun sudah memasuki UGD.
Baju Gabriel masih sangat basah kuyup. Entahlah, ia tak peduli. Ia hanya peduli
pada keadaan Shilla sekarang. Tapi hujan diluar sana belum juga berhenti, tapi sudah
tidak sederas tadi. Gabriel hanya bisa terdiam sambil melihat hujan sekarang.
Entahlah, ia sangat takut bila terjadi sesuatu pada Chilla.
Ah ia teringat satu hal. Ia harus
mengabari Ray sekarang juga, lalu mengabari omanya Shilla.
To: Ray
Ray? Lo msh disklh? Buruan ke RS. Cornelius.
From: Ray
Mshlah. Ha? Ngapain? Shilla knp?! Oke,oke.
Gabriel tau pasti Ray sangat khawatir dengan keadaan Shilla, Ray saja khawatir.
Apalagi Gabriel? Oiya Gabriel belum memberitahukan Omanya Shilla. Gabriel
segera menelpon omanya Shilla. Berhubung rumah sakit tidak terlalu jauh dari
rumah Shilla, dalam 10 menit Omanya Shilla sudah sampai dirumah sakit.
“nak Arel pulang saja dulu.” Ucap Omanya Shilla ketika melihat baju
Gabriel yang basah kuyup.
“yaudah, nanti kalau Shilla udah sadar kabarin saya ya oma.” Ucap
Gabriel bersungguh-sungguh. Balasan omanya Shilla hanya tersenyum dan
mengangguk.
Tak lama Gabriel pergi, datang Ray dan Sivia yang baru saja pulang
sekolah. Sebenarnya sedari tadi pas mendapatkan kabar dari Gabriel, Ray ingin
segera kesana. Tapi, apa boleh buat sedang ada guru yang mengajar, kalau dia
sih fine-fine aja keluar kelas pas lagi ada guru, udah biasa soalnya. Nah kalo
Sivia? Akhirnya Ray memutuskan sesudah bel pulang saja. Untungnya tak begitu
lama lagi.
“ Oma, Shilla kenapa?” Tanya Sivia begitu melihat omanya Shilla sedang
menunggu diruang tunggu.
Oma Shilla menoleh kearah sumber suara, ternyata Sivia. “eh nak Sivia.
Oma juga engga tau percis, tadi nak Arel Cuma bilang kalau Shilla masuk rumah
sakit.” Jawab omanya Shilla.
“sekarang kak Arel kemana oma?” Tanya Ray.
“tadi oma suruh pulang dulu, bajunya basah kuyup pasti abis kehujanan
tadi.”
Ray mengangguk. Tiba-tiba ada seorang dokter yang keluar dari ruang UGD.
“keluarga Ashilla?” panggil dokter itu.
“iya dok, saya omanya” jawab Oma Shilla yang langsung menghampiri dokter
itu, lalu diikuti oleh Ray. “bagaimana keadaan Shilla?”
“Ashilla ngga kenapa-kenapa, hanya saja asmanya kambuh tadi. Mungkin
karena dia ujan-ujanan dan juga kelelahan. Untuk beberapa hari ini kalian harus
jaga Ashilla baik-baik. Jangan sampe dia terlalu lelah, apalagi sampai banyak
fikiran. Asmanya bisa tiba-tiba kambuh, bahkan kalau terlalu sesak, bisa-bisa
nyawanya tidak tertolong. Tapi tenang, untuk saat ini Ashilla masih dalam
keadaan baik-baik saja.”
Oma, Ray dan Sivia mengangguk. “makasih ya dok. Saya akan menjaga
Ashilla sebaik mungkin.” Jawab oma Shilla.
Shilla sudah dipindahkan ke ruang rawat inap, tapi matanya belum juga
terbuka.
Ray sudah berpamitan kepada oma sekitar setengah jam lalu, sebenarnya
Ray tak ingin buru-buru pulang tapi Sivia ada les biola sore itu. Tapi, mata
Shilla benar-benar belum terbuka sama sekali.
*
Mungkin sudah yang ke 5 kalinya Gabriel mengecek handphonenya. Tapi
hasilnya sama saja tak ada kabar apapun dari Oma Shilla. Sungguh hati Gabriel
tak tenang. Waktu sudah berlalu hampir 2 jam,
tapi mengapa Shilla tak kunjung sadar? Apa Oma yang tidak memberikan
kabar pada Gabriel? Ah tapi masa iya? Gabriel benar-benar tak karuan sekarang.
“Rel?” Tanya mama Gabriel yang sedari tadi bingung melihat tingkah anak
semata wayangnya itu.
“ya mam?” jawab Gabriel tanpa mengalihkan pandangannya dari
handphonenya.
“what happen with you? Tell me” Tanya mama Gabriel lagi.
Gabriel mengubah pandangannya kearah mamanya. “aku gapapa ma” jawab
Gabriel disertai senyum.
“mama ini, udah hampir 14tahun loh sama kamu, kamu ngga bisa bohongin
mama Rel”
“Arel baik-baik aja ma, Arell Cuma……… khawatir sama chilla. Tadi asmanya
kambuh mah, sampe harus masuk rumah sakit.” Ucap Gabriel dengan suara sedikit
dipelankan.
“Rel, mama tau kamu pasti sayang banget sama Chilla kan? Tapi kamu juga
jangan ngelupain diri kamu sendiri. Kamu ngga salah sayang sama dia. Karena
Chilla memang cantik, pintar, dan ramah juga sama semua orang termasuk mama.
Tapi buka begitu caranya memperlakukan orang yang kamu sayang. Bukannya mama
menyuruh kamu menjauhi Chilla, engga sama sekali. Malah mama suka kamu dekat
dengan dia. Tapi mama mohon sama kamu kesayangan kamu sama seseorang itu
harusnya bisa bikin kamu inget sama diri kamu sendiri. Bukannya malah lupa sama
keadaan kamu sendiri.” Ucap mama Gabriel panjang lebar, disertai tatapan penuh
sayang pastinya.
“Arel engga akan lupa sama diri Arel sendiri kok ma, mama tenang aja”
ucap Gabriel menenangkan.
“mama percaya kok sama kamu Rel.” Ucap mamanya. “oiya, sekarang gimana
keadaan Chilla?” Tanya mamanya kemudian.
“Arel juga engga tau ma, Oma Chilla belum kasih kabar. Tadi sih katanya
kalo Chilla udah siuman Arel bakalan dikasih kabar, tapi sampe sekarang belum
dikasih kabar juga.” Ucap Gabriel, sambil menahan rasa sedih mungkin.
“Rel, mending sekarang kamu kesana. Jagain Chilla. Omanya kan udah tua.”
“iya ma, ini juga Arel mau kesana.” Ucap Gabriel lalu bangkit dari
tempat duduknya.
Lalu mamanya pun ikut bangkit dan bersiap menjauhi Gabriel sebelum
Gabriel memanggil. “Ma..” panggil Gabriel menahan langkah mamanya.
Mamanya menoleh kebelakang lagi. “ya?”
“makasih buat semuanya. Arel sayang mama.” Ucap Arel, lalu dibalas
senyum oleh mamanya.
*
Gabriel sudah sampai sekitar 2 jam yang lalu, tapi masih sama halnya
ternyata Shilla belum juga membuka matanya. Oma sudah pulang sedari tadi,
karena Gabriel tau oma pasti kelelahan menunggu Shilla. Apalagi sekarang sudah
jam 8 malam. Demi tuhan, Gabriel sangat merasa tak tenang sekarang. Mengapa
Shilla belum juga membuka matanya sih? Sebenarnya apa yang terjadi pada Shilla?
Oke, tadi Gabriel sudah diceritakan oleh Oma bahwa ia hanya asma dan
kelelahan kata Dokter, tapi mengapa sudah 4 jam keadaan Shilla masih saja
begini? Oh tuhan...
Tok...tokk...
Terdengar suara ketukan pintu yang membuyarkan lamunan Gabriel. Ternyata
Sivia dan Ray yang datang.
“Ka Gab? Udah dari tadi? Shilla gimana?” Tanya Ray yang langsung
menghampiri Gabriel.
“eh Ray, udah lumayan lama lah, sekitar 2 jam yang lalu. Ya gini Ray,
dia belum sadar juga.” Jawab Gabriel hampir putus asa.
Lalu Ray berjalan menghampiri Sivia yang sudah duduk di sofa yang ada
diruangan itu terlebih dahulu, lalu diikuti oleh Gabriel. Mereka mengobrol
bersama disana. Sambil menunggu Shilla sadar.
“sebenernya Chilla kenapa sih? Sebelumnya dia sama kalian kan?” Tanya
Gabriel penasaran.
“iya emang awalnya sama kita ka, tapi dia izin buat ke tempat lain. Dan
kita gatau kemana dan sama siapa.” Jawab Sivia sambil menarik nafas.
“tadi sih pas aku temuin dia di taman belakang, udah dalam keadaan pingsan
tapi kayanya baru pingsan deh, terus matanya kaya abis nangis tapi gaterlalu
keliatan karena air hujan. Posisi dia juga meluk dengkul. Dia abis sakit hati?
Gara-gara apa?” ucap Gabriel menjelaskan.
Mata Sivia membelalak. Shilla galau lagi? Gara-gara apa? Cakka kah? Ah
tapi rasanya tak mungkin. Sudah lama Shilla tak terlihat menggalaui Cakka, ya
itu yang Sivia tau. Tapi ia tak pernah tau kan yang Shilla rasakan? Kalau
memang bukan gara-gara Cakka, gara-gara apa dong?
“gara-gara gue jadian sama Sivia? Ah itu gamungkin.... dia kok yang
bantuin gue jadian sama Sivia.” Ucap Ray berfikir.
“Ha?” ucap Gabriel dan Sivia berbarengan.
“masa iya gara-gara itu, emang Shilla punya rasa sama kamu Ray?” Tanya
Sivia bingung.
“engga lah vi, dia Cuma nganggep aku sahabat. Ngga pernah lebih kata
dia.” Ucap Ray santai.
“yeh Ray. Gue kira beneran gara-gara itu. Oiya kalian udah jadian ya?
Selamat ya. Haha” kata Gabriel.
“makasih kak.” Ucap keduanya berbarengan disertai senyum malu-malu.
Gabriel mengangguk tersenyum, lalu berdiri dan menghampiri Shilla. Lalu
duduk disebelah ranjangnya.
*
Yeahhh!!! Part 13 akhirnya sempet di post juga nihh. hehehe maaf yaa harus nunggu sampe sebulan dulu, gue tau ini ngaret banget. So, maafin gue yah. makasih yang udah mau baca;)
PART 14
PART 14
Tidak ada komentar:
Posting Komentar