Jumat, 21 Juni 2013

Rahasia Cinta part 18

Pagi ini mentari tak menampakkan dirinya. Ia sedang bersembunyi dibalik awan-awan gelap yang memenuhi langit. Sepertinya akan turun hujan. Yayaya, memang saat ini sedang musim hujan, tidak pagi, siang atau malam air langit yang berasal dari gerumunan awan itu akan turun sesuka hatinya. Bahkan terkadang, walau langit terlihat cerah hujan pun bisa turun.


Walaupun cuaca tak bersahabat, orang tua murid Bunga Cendika Internasional Junior High School tetap berdatangan ke sekolah. Walaupun sebenarnya bukan orang tua murid sih, melainkan perwakilan murid. Mmm, maklum sekolah Internasional, pasti anak-anaknya terlahir dari kalangan berada, yang biasanya orang tuanya pada bekerja di luar kota atau bahkan di luar negri. Jadi tak jarang disini yang hadir lebih banyak ‘suruhan’ orang tua mereka, dibanding orang tua mereka sendiri. Entahlah, mereka tak terlalu mempermasalahkan hal ini, karena faktanya mereka sudah terbiasa sejak kecil. Ditinggal kerja orang tua yang super sibuk.


Begitu juga dengan Ify dan Ray. Kedua orang tua mereka tak ada satupun yang bisa hadir. Ray sendiri sudah terbiasa, paling yang mengambil tantenya. Ify juga begitu. Ia tak terlalu peduli dengan hal ini, yang penting rapotnya segera diambil dan ia tau hasilnya itu sudah cukup buat Ify, daripada tak diambil sama sekali. Yakan?



Beda lagi dengan Sivia biasanya kedua orang tuanya sama-sama tak ada yang ‘tidak’ sibuk. Tapi kali ini sangat berbeda Mama dan Papa Sivia berada disamping kiri dan kanan Sivia menemaninya, ada yang bisa mendepskripsikan perasaan Sivia hari ini? tidak ada. Bahkan Sivia sendiri tak tau percisnya bagaimana yang pasti ia tak pernah merasa sebahagia ini selain saat ia dan Ray menjadi seorang kekasih.


Ray datang bersama adik Mamanya atau tantenya. Tante Merry namanya, memang sejak mama dan papa Ray tinggal di luar negri Ray memang tinggal bersama tante Merry di Jakarta. Hidup bersama tante Merry tak buruk menurut Ray, tante Merry orang yang peduli padanya, mungkin karena memang tante Merry belum menikah. Mungkin kalau bisa dibilang Ray lebih menyayangi tantenya ini dibanding kedua orang tuanya.


Ray dan Sivia memang janjian untuk datang pada waktu yang sama. Ray yang mengidekan ini dan Sivia tidak bisa menolak. Teryata yang pertama sampai adalah Ray bersama tantenya lalu sekitar 5 menit kemudian baru Sivia dan mama papanya. Ternyata sudah banyak yang mengambil rapotnya sedari tadi pagi. Hanya tinggal beberapa nama –perwakilan- orang tua yang belum menanda tangani buku hadir.


Ray meminta izin pada tantenya untuk ke kantin sebentar lalu mengajak Sivia yang segera meminta izin juga kepada mama dan papanya.


Di kelas mereka hanya terlihat Bu Reni dan Ify yang sedang membantu merapihkan sesuatu. Ya, Ify adalah sekertaris kelas jadi harus membantu bu Reni pada hari ini. Lagipula Ify juga tak merasa keberatan, ia jadi bisa mengambil rapotnya sendiri tanpa ‘suruhah’ papanya. Ify sedang terlihat serius pada hal yang sedang ia kerjakan sampai tak menyadari bahwa ada dua wali murid yang ingin mengambil rapot.


“Fy..” panggil bu Reni.

“Ya bu?” tanya Ify yang belum menyadari.

“itu ada orang tua Ray dan Sivia.” Ucap bu Reni.


Ify menoleh dan benar saja. Ia langsung tersenyum dan mempersilahkan wali murid dari Ray untuk mengambil rapot memang karena Ray duluan yang sampai. Setelah orang tua Sivia menanda tangani buku tamu, Ify bangkit dan meminta izin pada bu Reni untuk ke kantin sebentar membeli minum.


*


Tak selamanya sebuah kenyataan itu pahit. Tapi mengapa kenyataan ini begitu menyakiti hati?


Kantin terlihat sangat sepi sekarang. Iyalah, namanya juga cuma bagi rapot kan. Lagipula kebanyakan –suruhan- orang tua mereka datangnya pagi-pagi. Karena siangnya memang masih banyak hal yang harus dikerjakan. Ify memandangi seluruh pelosok kantin. Hanya ada dua gerai yang buka saat ini. yang satu menjual makanan ringan beserta minuman-minuman, yang satunya lagi menjual makanan berat seperti nasi goreng, spagetty dan yang lainnya.


Ify berjalan perlahan menuju gerai yang menjual makanan ringan dan minuman. Sesampainya disana ia langsung mengambil satu minuman kaleng dari lemari pendingin –yang biasa dipakai orang jualan itu loh-. Ify merogoh saku blazernya. Yap, karena Ify disini ditugasi oleh bu Reni untuk membantunya, jadi Ify memakai baju sekolah.


Aduh, mampus gue, uang gue kan di tas. Batin Ify.


“Bu.. mm, ini uang saya ada di kelas. Saya ambil dulu ya.” Kata Ify sambil menaruh minuman itu dimeja kasir dan sudah bersiap berlari keluar kantin.

“Fy!” tiba-tiba teriakan seseorang membuatnya mengurungkan niatnya dan malah menoleh ke sumber suara.

“Iya vi?” tanya Ify kepada orang yang memanggilnya tadi, yang tak lain adalah Sivia.

“ambil aja minumannya, nanti gue yang bayar.” Jawab Sivia santai sambil tersenyum ramah.


Ify ikut tersenyum, lalu kembali ke tempat tadi dan mengambil minumannya. Untung jugasih buat Ify diakan udah lelah banget, masa harus kembali ke kelas dulu? Ify berjalan mendekati meja Sivia dan Ray.


“makasih ya vi, nanti gue ganti.” Kata Ify yang berdiri disebelah bangku Sivia.

“yaelah vi kaya sama siapa aja. Oiya, duduk gih masa mau diri disitu terus.” ucap Sivia menunjuk pada bangku disampingnya.

“Oiya vi, Chilla kok belum ambil rapot ya?” tanya Ify, sebenarnya ia agak ragu untuk menanyakan hal ini. tapi dia pernasaran juga. Biasanya Oma Shilla sudah mengambil rapot dari pagi tapi hari ini, sampai sudah siang begini rapotnya masih bertengger rapih di meja bu Reni.

“emm Shilla itu...” Sivia bingung sendiri harus menjawab apa. Ia menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Masa ia harus memberitahu Ify sih? Kalau ternyata tidak boleh sama oma bagaimana? Eh tapikan Oma pasti sudah kenal dekat dengan Ify, secara Ify jauh lebih dulu bersahabat dengan Shilla dibandingkan dengan dia.


Sivia menolehkan wajahnya ke arah Ray yang sedang menoleh ke arahnya juga. Lalu mereka saling bertatap dalam-dalam. Tatapan Sivia seakan bertanya pada Ray aku-harus-jawab-apa. Lalu Ray hanya mengangguk. Sivia mengerti maksudnya. Tapi sekali lagi Sivia merasa ragu akan keputusannya.


“Chilla kenapa?” tanya Ify yang mulai merasakan ada suatu yang tidak beres pada sahabat kecilnya itu. Yayaya, mungkin masih bisa dibilang begitu. Entahlah.

Sivia tersadar dan segera mengembalikan arah pandangnya ke arah Ify. “Shillaa... Shillaa..” aduh ayo dong Sivia, kenapa susah bangetsih buat bilang hal itu. Cuma 2 kata loh Vi. Shilla. Koma. Ah, hatinya miris sendiri mengingatnya.

“Shilla koma Fy.” Ah! Akhirnya Ray bersuara juga. Abisnya dia engga tahan juga daritadi melihat Sivia yang kayanya susah banget buat cerita, terus Ifynya juga udah penasaran banget keliatannya.


Jengjeng. Ify merasa sesuatu telah menghantam tepat di hatinya. Mulutnya terbuka sedikit. Matanya membelalak. Rasanya ada berjuta-juta kata yang ia ingin keluarkan, tapi mulutnya terasa terkunci oleh ratusan gembok yang tak kentara. Ify merasa melayang sekarang. Bukan-bukan dirinya, tapi pikirannya juga jiwanya. Ia mencoba mencerna kata-kata Ray tadi. Hanya dua kata. Shilla. Koma. Kata-kata itu terngiang di telinganya.


Shilla. Koma. Shilla. Koma. Shilla. Koma. Shilla. Koma. Shilla. Koma. Shilla. Koma.


Ify diam sibuk dengan pikiran dan jiwanya yang sedang melayang-layang. Sivia juga terdiam. Ray yang bingung ikut diam.


“Apa?!” tiba-tiba Ify tersedar, seakan-akan baru terbangun dari mimpi panjang. Suaranya memecah keheningan yang sempat terjadi tadi. Suaranya terdengar tak percaya.

“Iya.” Sivia menjawab dengan suara pelan dan terdengar –sudah- pasrah.

“kalian bohongin gue ya? Ga lucu tau bercandanya.” Kata Ify, suaranya terdengar agak serak menahan tangis.

“ngapain kita bohong? Bohongnya bilang orang koma lagi. Ga ada untungnya juga.” Jawab Ray seadanya.

“iyasih....”suara Ify terdengar semakin miris. “kok bisa?” lanjutnya, entahlah hatinya terasa sakit sekali. Lo tuh ya fy, bodoh banget siih.... sampai-sampai hal sepenting ini lo ngga tau. Batinnya miris.

“yagitu, ceritanya panjang. Emang lo engga tau sama sekali?” tanya Ray polos.


Sivia memelototi Ray. Aduh Ray lo polos apa bodoh sih.. jelas-jelas Ify sama Shilla sudah jarang. Eh ralat. Maksudnya audah tidak pernah main bareng lagi. Rasanya Sivia ingin menelan bulat-bulat Ray saat ini juga. Tapi ia teringat dua hal. Yang pertama, Ray itu kekasihnya kan ngga lucu kalo dia masuk Koran dengan judul “seorang gadis menelan bulat-bulat pacarnya di kantin sekolah tanpa alasan yang jelas” cuih. Yang kedua, mungkin ini lebih terpikir logika, karena Sivia memang tidak suka makan daging orang.


Oke kembali ke cerita.  Ify hanya mendesah pelan mendengar ucapan Ray barusan.


“Chilla dirawat dimana?” tanya Ify. Sudah terlihat setetes demi setetes air mata terjatuh dari kedua mata Ify. Terlihat sekali ia sedang menahannya agar tak jatuh terlalu banyak.


Sivia tak tega melihat Ify menangis, karena ia tau pasti rasanya sakit sekali berada di posisinya saat ini. sahabatnya sedang sakit separah itu tapi Ify tak tau apa-apa.


“RS. Cornelius. Kamar VVIP 3 di lantai 5.” Jawab Sivia. “Fy, jangan nangis ya. Kita berdo’a aja buat Shilla. Semoga dia cepet sembuh.” Lanjut Sivia. Ia sendiri merasakan air matanya ikut menetes satu persatu bersamaan dengan kata-kata yang barusan keluar dari mulutnya.

“Sivia juga jangan nangis ya. Kita berdoa sama-sama buat Chilla ya.” Ify mendekat kearah Sivia yang sudah berdiri, lalu mereka berdua berpelukan. Menguatkan hati masing-masing.


Ray terdiam melihat adegan yang agak-menjijikan-seperti ini. Ray tau pasti dua-duanya sama terpukulnya dengan kenyataan yang ada. Ray sendiri –jujur dari hati terdalam- sangat merasa sedih bila mengingat keadaan Shilla.  Tertidur dalam mimpi panjang yang tanpa seorangpun ketahui kapan terbangunnya. Ray menggeleng miris.


“Vi, Fy......” loh kok jadi aneh gini kedengerannya.


Sivia dan Ify menoleh bersamaan. Lalu terdiam melihat Ray yang sedang menggaruk kepalanya yang sama sekali tidak gatal.


Lalu mereka tersenyum bersama. Melupakan kesedihan untuk sebentar saja. Membiarkan tangisan menyingkir pergi walau hanya sekejap saja. Tak akan ada yang tau apa yang akan terjadi pada hari esok dan seterusnya.


*


Semua kenangan terbang terbawa ‘angin’ bersama cerita kepingan masa lalu. Bagaimana cara menggapainya lagi? Bagaimana cara mengehentikan ‘angin’ yang membawa kenangannya itu?


Malam begitu pekat. Walau hujan hanya turun tadi pagi, tapi awan bergerombol itu memilih untuk menetap disana. Menutupi cahaya bulan dan menghilangkan bintang-bintang. Membuat kegalauan semakin terasa mengenaskan pada malam itu.


Gabriel menghela nafasnya berkali-kali. Ia tak mengerti apa yang telah terjadi saat ini. ya, setelah ia berhasil menemukan gadis –baru- untuk hatinya itu. Entahlah, harusnya ia merasa senang karena telah memiliki sepenuhnya seseorang yang ia sayangi dan juga menyayanginya. Tapi ternyata hati tak pernah bisa berbohong, bahwa sampai saat ini gadis kecilnya masih terus bertengger disana dalam diam.


Chill, please..... don’t make me feel like i’m choose the wrong option. batinnya mengerang.


Kamu yang udah memerintahkan aku pergi, tapi kenapa sekarang seakan-akan aku yang salah. Seakan-akan aku yang memutuskan semua ini. Gabriel merasa hampir gila akan hal ini.


Aku tidak pernah bisa menghapus kamu dari sini, Chilla. Ia memegangi dadanya.
Sejak saat itu, aku tak pernah bisa merasakan sesuatu yang bergemuruh lagi. Sejak saat itu, ada yang terasa hampa, di hati ini. Kamu. Dan akan tetap kamu yang selamanya akan ada di sini.


Gabriel mengacak-ngacak rambutnya frustasi. Bodoh! Lo itu udah punya Zahra, Gabriel!


Gabriel menjatuhkan badannya dengan agak kasar ke kasurnya. Berharap hentakan yang ditimbulkan akan segera membuatnya tersadar. Tapi nyatanya? Di langit-langit kamarnya hanya ada bayangan wajah gadis kecilnya, bukan gadis barunya. “Ck!” Gabriel berdecak. Lalu mendorong guling di sampingnya secara kasar. Seperti sedang mengusir seseorang yang sedang tak ia harapkan kehadirannya.


Kenapa kamu masih tetap di sini? Saat kamu telah menyuruhku memutuskan.
Gabriel tau, pasti ada sesuatu yang salah sedang terjadi dengan gadis kecilnya. Mungkin kalau ia sudah tau apa hal yang salah itu, dan mencoba memperbaikinya, mungkin gadis kecil itu akan segera hengkang dari hati dan kepalanya.


Gabriel memutuskan untuk bangkit lalu mengambil handphonenya yang ia letakkan di meja belajarnya.


Tut...

Tut...

Tutt...tutt...tut...


Sial, tak ada jawaban.


Gabriel mencoba sekali lagi. “Hallo?” ah! Terdengar suara khas anak-cowo-belum-puber-alias-masih-cempreng terdengar dari ujung sana.

“Ray! Gue mau nanya sama lo.” Yap. Gabriel menghubungi Ray yang notabene adalah sahabat Shilla.

“gue gatau jawabannya. Udah ya. Bye.” Klik.


Sialan, salurannya diputus secara sepihak oleh Ray. Pasti Ray masih marah kepadanya. Tapi hal ini penting sekali. Gabriel tak tau harus bertanya pada siapa lagi. Ia tak mau menyerah. Ia mencoba menghubungi Ray sekali lagi.


nomor yang anda tuju, sedang tidak aktif. Cobalah beberapa saat lagi.’ Suara perempuan yang tak asing bagi seluruh pemakai handphone menjawab telepon Gabriel.


RAY!, batin Gabriel geram pada tetangga sekaligus sahabat yang sudah dianggap adiknya ini.


Entahlah, Gabriel semakin merasa frustasi saja saat ini.


Kalau ia ke rumah Ray, apakah orang itu mau menemuinya? Mengangkat teleponnya saja rasanya Ray tak sudi, apalagi menemuinya. Agrh! Sehina apasih dirinya?, batinnya sarkatis.


Gabriel akhirnya memutuskan untuk mengirimin Ray pesan singkat saja. Bodo amat deh nanti dibaca apa atau tidak.


To: RayP

Please gue butuh bgt jwban lo! Chilla knp? Dia dmn skrng?!


Drrtt..drrt..drtt..


Gabriel mengernyit, ternyata Ray yang membalas pesannya. Aneh juga sih Ray ini.


From: RayP

Peduli apa lo? Udh ber2an aja sana sm bidadari br lo. Shilla gpp, dia di rmhnyalah!


Sial.  Ray benar-benar bodoh atau apasih? Jelas-jelas ia liat sendiri kemarin kalau Shilla yang menyuruhnya mengerjar Zahra. Pasti ada yang tidak beres. Tidak mungkin Ray semarah itu padanya kalau Shilla baik-baik saja. Iyakan?


To: RayP

Jgn bohong! Kt tmnan udh lama ray. Please jwb yg bnr.


From: RayP

Gausah ungkit2 itu kak, gue mls tmnan sm ba-jing-an. Lo mau tau Shilla knp? Tanya sm otak lo sndri.


Sial! Sejuta kali sial! Sumpah demi apapun, kalau ia tak sedang ada keperluan dengan Ray pasti sekarang juga ia akan menghampiri rumah Ray dan menonjoknya karena ucapannya barusan.


To: RayP

Gue nny baik2 sm lo. Oke kl emang gue ba-jing-an. Tp please ksh tau gue chilla knp.


Balasnya pada Ray. Demi apapun Gabriel benar-benar merasa seperti orang kehilangan arah sekarang. Ia benar-benar tak ingin sesuatu terjadi pada gadis kecilnya. Karena apapun yang gadis itu rasakan sejak dulu ia turut merasakan. Mungkinkah ia terlalu mencintai gadis kecilnya itu? Atau ia hanya tak ingin mengulang kesalahan yang sama? Melepaskan gadis itu, lalu bersikap uring-uringan seperti tak punya semangat hidup.


Sekitar 5 menit ia menunggu balasan dari Ray, tapi nampaknya Ray memang benar-benar tak ingin memberitahunya. Astaga, rasanya ia ingin mati saja kalau begini.


Gabriel lupa, ia lupa bahwa ia telah memiliki gadis lain. Gadis manis yang sudah –secara tak resmi- ia pilih untuk melupakan gadis kecilnya. Tapi mengapa seakan-akan hari ini gadis itu yang malah terlupa karena gadis kecilnya.


*


Sore Hari. Hari esoknya.


Tangisan alam itu terpecah lagi. Seakan merasakan hal yang sama dengan mereka.


Ify turun dari mobilnya ketika menyadari bahwa ia telah sampai di lobby RS. Cornelius. “bapak pulang aja. Saya mungkin agak lama di sini, kalau saya sudah mau pulang nanti saya telepon bapak.” Ucap Ify pada supirnya yang mengangguk dan berkata “baik non.” Lalu melesat pergi meninggalkan rumah sakit itu.


Ify berjalan dengan perasaan tak tenang. Menuju ke elevator terdeket untuk segera naik ke lantai 5. Ya, seperti apa kata Sivia kemarin. Hari ini tak terlalu banyak penjenguk yang hadir. Bahkan di elevator rumah sakit itu Ify hanya sendiri. Ia meratapi kebodohannya. Lalu menggeleng-geleng lagi. Ify tak boleh terus meratap! Ia harus member semangat pada Shilla!


Ting...


Akhirnya elevator terbuka di lantai yang dimaksud. Ia mencari-cari petunjuk mengenai kamar-kamar rawat di lantai ini. Ah itu dia, di sebelah penjaga ruang VVIP. Berarti ruangan Shilla ada di belakang pintu yang dijaga oleh beberapa suster dan satu security itu.


“Permisi... anda mau ke mana?” tanya salah satu suster dengan ramah.

“Ke.. kamar VVIP 3.” Jawab Ify seadanya.

“mm, siapa nama pasiennya?” tanya suster itu lagi. Bukan dengan maksud tak percaya dengan Ify. Tapi inikan rumah sakit, apalagi ruangan yang ditujunya adalah ruangan VVIP, ruangan sangat pribadi buat orang-orang berekonomi diatas pastinya.

“Ashilla.... Ashilla Zahrantiara.” Jawab Ify. “Saya sahabatnya.” Lalu menambahkan dengan sedikit agak ragu.

“kalau begitu, silahkan masuk.” Kata suster itu kemudian sambil tersenyum. Lalu menyuruh satpam di sampingnya membukakan pintu untuk Ify.


VVIP 1...VVIP 2...VVIP 3 yap ini dia.


Ify mengetuk pintu ruang rawat yang bertuliskan VVIP 3 itu. Ia menunggu sebentar hingga akhirnya pintu dibuka oleh perempuan paruh baya yang masih terlihat sangat fresh, walau di wajahnya tersirat jelas kelelahan yang teramat dalam ia rasakan.


Tanpa menunggu waktu lama, Ify langsung menghambur ke pelukan wanita itu. “Omaa..” ucap Ify dengan lirih.


Oma membalas pelukan Ify. Sudah lama juga ia tak melihat Shilla bermain bersama Ify. “Hallo Fy.” Balas Oma sambil melepaskan pelukan Ify dan mempersilahkan gadis berwajah tirus itu masuk.


“Chilla.....” ucap Ify ketika melihat gadis yang sedang terbaring tak berdaya di tenga-tengah ruangan. Tubuh Ify bergetar hebat. Ia tak bisa menahan air matanya. Kenapa harus lo sih Chill?


Ify berjalan perlahan mendekati Shilla sambil berharap dalam hati semoga pengelihatannya salah, semoga itu bukan Shilla. Tapi.....ternyata toh memang ini kenyataannya, Shilla lah yang ada di depannya kini. Dengan tubuh dipasangi beberapa alat medis. Entah itu oksigen, infuse, ataupun alat pendeteksi detak jantung.


Tubuh Ify semakin bergetar hebat ketika menelusuri lebih dalam wajah tenang Shilla. Ia rindu sahabatnya itu, ia rindu tawa sahabatnya itu, ia rindu suara riang yang terdengar dari mulut sahabatnya itu. Chilla, maafin gue. Lirihnya dalam hati.


Ify duduk di bangku yang ada di sebelah tempat tidur Shilla. Lalu menggenggam tangan Shilla yang tak di pakaikan infuse, mengelusnya secara perlahan, tatapannya belum juga ia alihkan dari wajah tenang Shilla. “Kenapa bisa kaya gini sih Chill? Kenapa lo harus kaya gini? gue sayang sama lo Chill, maafin gue...” tiba-tiba tangisan Ify semakin kejar. Ia menggenggam tangan Shilla seakan-akan memberikan seluruh semangatnya untuk Shilla.


Oma mendekati Ify yang –sepertinya- sedang terpukul sekali. Lalu mengelus puncak kepala Ify seakan-akan beliau tau percis apa yang ia rasakan.  “Fy...” panggil oma.


Ify menoleh kearah oma yang sudah ada disampingnya. Lalu memeluk Oma sambil duduk. Ify benar-benar tak percaya apa yang telah dilihatnya kini. Shilla terbaring lemah, tanpa suara, tanpa tawa bahkan hampir tanpa nyawa mungkin. “Ify ngga mau kehilangan Chilla..” ucap Ify mengeluarkan segala kepenatannya dipelukan Oma Shilla.


Oma tersenyum mendengar ucapan Ify. Tapi toh tetap saja, air mata oma memberontak untuk ditumpahkan lagi. Entahlah, Oma sendiri merasa menutupi kesedihan sudah tak ada gunanya. Beliau juga tak ingin kehilangan Shilla seperti Ify. Apalagi  beliau Omanya, beliau sudah bersama Shilla lebih lama dari Ify. “Jangan sedih Fy, kita harus semangat. Kita harus membuat  Chilla ikut semangat.” Suara oma terdengar bergetar, menahan tangisannya yang mungkin akan semakin meledak jika dibiarkan begitu saja.


Ify mengangguk. Melepaskan pelukannya lalu tersenyum menatap Oma.
“Oma pasti udah lelah sekali ya jagain Shilla disini? Oma kalau mau istirahat, istirahat aja. Kalau oma mau pulang juga tidak apa-apa. Biar Ify yang menjaga Shilla disini.” Ucap Ify tanpa maksud mengusir sama sekali, ia hanya tak tega melihat oma yang kelihatannya sudah kelelahan sekali.


Oma tersenyum mendengar ucapan Ify. Oma tau pasti Ify ingin melepaskan rindunya dengan Shilla. “yaudah, oma tinggal dulu ya Fy. Sekalian mau ambil baju buat besok.”


Oma bersiap-siap merapihkan barang-barangnya. Lalu setelah siap oma berjalan menuju pintu yang diiringi oleh Ify dari belakang. “Oma istirahat yang cukup ya. Kalau boleh Ify juga ngga apa-apa ko jagain Chilla sampe besok.”


Oma hanya tersenyum lalu keluar.


Ify menghampiri ranjang Shilla lagi. Lalu duduk di sebelahnya dan menggenggam tangan sahabatnya –lagi-.


“Chill...pasti disini sepi ya? Tapi lo kan dijagain sama oma.” Ify mulai bermonolog. “Chill..maaf ya waktu itu. Gue bener-bener bodoh ya, engga guna jadi sahabat. Masa lo sakit aja gue engga tau, sahabat macam apa gue? Haha” rasa-rasanya ia terlihat seperti orang gila sekarang. Entahlah Ify hanya mengangkat bahu.

“Chill.. gue banyak cerita tentang di sekolah. Mau gue ceritain ga? Mau kan? Iya kan?” tanya Ify entah pada siapa. Mungkin pada debu-debu yang berterbangan disana.


Ify terus berceloteh ria di samping Shilla. Tak peduli Shilla tak bisa menjawabnya, karena ia yakin walaupun tak menjawabnya pasti Shilla mendengarkan ucapannya.


*


Oma baru selesai memasukan baju-bajunya untuk 2 hari kedepan ketika tiba-tiba handphonenya berbunyi. Oma memutuskan menutup resleting tasnya dulu baru mengambil handphonenya yang bordering nyaring itu. Setelah tasnya sudah tertutup rapih oma mengambil handphonenya dan melihat siapa yang menghubunginya. Galih, rupanya.


“Hallo?” sapa oma setelah menekan tombol hijau.

“Hallo mam? Galih udah di bandara soekarno-hatta. Mungkin sekitar satu jam lagi sampai di rumah.”

“jangan ke rumah. Langsung ke RS. Cornelius saja. Tahu kan? Terus langsung menuju kamar VVIP 3 di lantai 5. Kalau ditanya sama penjaganya bilang kamu Omnya Ashilla. Mami tunggu.”

“tunggu...tunggu... rumah sakit? Siapa yang sakit? Mami? Atau......”

Ucapan om Galih diputus oleh oma. “mama tunggu secepatnya.” Klik. Oma meutuskan sambungannya.


Entahlah, oma sendiri merasakan dadanya nyeri. Bukan. Ia bukannya memiliki penyakit yang sama dengan Shilla. Tapi ia bisa merasakan sakitnya.


*


Pintu ruang rawat Shilla terbuka ketika Ify sedang membaca sebuah majalah di samping Shilla. Ia masih setia menunggu Shilla sedari tadi. Ia tak peduli dengan kantuk yang menyerangnya, ia tak peduli dengan rasa bosan yang tecipta. Yang penting ia bisa ada di sebelah Shilla. Ia bisa menemani Shilla. Setidaknya ini lebih baik daripada saat dimana Shilla membentang jarak dengannya. Hah, Ify Ify.


“Fy....” sapa Oma Shilla.

“eh?” Ify membalikan tubuhnya melihat siapa yang datang. “Iya oma?” tanya Ify kemudian.

“kamu masih di sini?” tanya oma lembut,

Ify hanya mengangguk dan tersenyum. “tadi ada suster ke sini, katanya keadaan Shilla sudah semakin membaik.”

“Alhamdulillah..” jawab Oma sambil tersenyum juga.”terimakasih ya Fy sudah mau menjaga Shilla dari tadi.” Lanjut oma sambil berjalan mendekat ke arah Ify.

“Ah oma, kaya sama siapa aja. Gapapa kok ma.”


Oma hanya tersenyum. Dan memeluk Ify.


“Ify pulang dulu ya oma. besok Ify kesini lagi.” Ucap Ify lalu meninggalkan ruang rawat Shilla.


Ify pun keluar dari ruangan Shilla. Entahlah, hari ini ia merasa ada sesuatu yang kembali hidup di dalam tubuhnya. Hari ini ia senang sekali, bisa bersama Shilla. Menjaga Shilla. Menemani Shilla. Walau keadaan Shilla sendiri masih tidak sadar.


Ify berjalan sambil memenceti telpon genggamnya. Ia ingin Deva yang menjemputnya.


To: Deva{}

Dev km lg dmn? jemput aku ya? Di RS.Cornelius. aku tunggu:)


Tak lama handphonenya bergetar menandakan ada pesan masuk. Saat Ify ingin membacanya tiba-tiba saja seseorang menabraknya. Hampir saja handphone mahalnya itu terjatuh.


“Eh? Maaf yaa, maaf banget.” Ucap orang itu dengan wajah merasa bersalah.


Ify terdiam sebentar, mengamati orang itu dari ujung kaki sampai ujung kepala. Ify merasakan sesuatu yang berbeda pada aura orang ini. Ia seperti tau, tapi ia sama sekali tak tau. Entahlah, tapi ini rasanya benar-benar nyata, tapi...kenapa jadi seperti orang bingung beginisih? Rasanya Ify ingin memeluk orang di hadapannya ini karena rindu. Tunggu...tunggu.. tapikan Ify tak kenal?


“Hei?” sapa orang itu yang ikut kebingungan melihat Ify bingung seperti itu.

“Ha? Iya gapapa ko.” Akhirnya Ify tersadar dari lamunannya. Lalu dengan linglung ia berjalan kea rah lobby.


Handphone Ify bergetar lagi. Lebih banyak ternyata kali ini. ada telepon rupanya. Dari Deva. Dengan segera Ify mengangkat telepon dari Deva.


“Hallo?”

“Fy, aku udah di depan rumah sakit. Kamu dimana? Emang siapa yang sakit? Sms ku masuk engga sih?” Ucap Deva tak sabar.

“Iya aku udah liat mobil kamu.” Jawab Ify lalu mematikan sambungannya dan segera berjalan kearah mobil Deva.


*


Oma sedang melahap puddingnya saat terdengar suara pintu dibuka. Om Galih ternyata.


“Mam?” panggil om Galih.


Oma menaruh pudingnya lalu segera menyambut Om Galih dan Tante Meli istri Om Galih. Om Galih terlihat sedikit shock ketika melihat Shilla terbaring lemah di ranjang yang terletak di tengah kamar rawatnya.


Oma memeluk om Galih sangat erat. Oma rindu pada anak pertamanya ini, dan entahlah mungkin oma merasa kesepian juga. Om Galih sendiri megerti apa yang dirasakan Mami tercintanya ini.


“Chilla kenapa mam?” tanya Om Galih sehabis melepaskan pelukannya.

“Chilla....Chilla.... penyakit kecilnya terdeteksi lagi Gal. dan dia koma sekarang...” jelas oma sambil menangis tersedu-sedu. Beliau benar-benar tak kuat menutupi semuanya lagi. Sakit. Sedih. Menyesal. Semuanya beliau rasakan sekarang.


Om Galih sempat terlihat tak percaya sebentar, lalu dengan cepat ia memeluk Oma lagi. Mencoba menguatkan orang yang telah melahirkan dan merawatnya itu. Om Galih tauuu sekali perasaan Oma. pasti Oma sangat merasa bersalah pada adiknya yaitu Clarissa. Mamanya Shilla.


“kenapa bisa Mam?” tanya Om Galih hati-hati.

“Mami sendiri tidak begitu mengerti Gal. Ini salah mami, mami sudah teledor merawat Chilla.” Jawab Oma sambil menahan tangisnya yang sudah mulai terhenti.

“ini bukan salah mami. Ini takdir mam.” Tante Meli mendekati oma dan memeluk oma. Tante Meli memang orang yang sangat baik yang Shilla kenal selain Mama, Papa, Oma dan Om Galih. Tante Meli bisa dibilang sebagai mama yang baik buat Valerry, jadi istri yang baik buat Om Galih, jadi menantu yang baik buat Oma, jadi kakak ipar yang baik buat Mama dan Papa Shilla. Shilla sendiri dekat sekali dengan tante Meli, mungkin karena dulu Shilla sempat tinggal bersama tante Meli dan Om Galih selama sebulan.


Oma menangis lagi. Oma sangat menyayangi Shilla. Hampir 6 tahun sudah waktu yang Oma habiskan bersama Shilla. Oma merasa dirinya terlalu santai menjaga Shilla selama ini karena tau penyakit Jantung Shilla itu jarang kambuh malah tak pernah sama sekali. Pada kenyataannya? Penyakit jantung memang penyakit yang bisa menyerang kapan saja.


“Galih sama Meli janji mau nemenin Mami jagain Chilla sampai sehat kembali mam.” Ucap om Galih menenangkan hati oma.

Oma tersenyum tipis. Terlihat seperti dipaksakan. “tapi gimana sama Clarissa? Mami merasa sangat bersalah Gal. Mami.....Mami....gabisa jagain Chilla dengan baik.” Entahlah, suara oma terdengar sangat parau. Rasanya mau menangis lagi juga sudah tak bisa.

“Mami jangan merasa bersalah mam. 6 tahun mami bersama Chilla, toh Chilla baru kali ini kan seperti ini? mungkin Chilla ingin mama dan papanya ada untuknya. Sudah 3 tahun terakhir ini Rissa sama Bramantyo tidak pulang ke Indonesia kan?” jawab om Galih kembali menenangkan Oma.


Oma mengangguk. Mencoba menenangkan hatinya. Om Galih membiarkan Oma duduk di kursi yang ada di sebelah ranjang Shilla. Sedangkan Om Galih dan Tante Meli berdiri di samping kanan dan kiri oma. Om Galih memegang tangan Shilla, seakan-akan sedang memberikan kekuatannya pada keponakan tersayangnya itu.


“Chilla kuat ya sayang. Pasti mama dan papa akan datang menjenguk Chilla. Chilla harus janji sama Om Galih ya? Chilla harus bangun. Chilla tidak boleh membuat Oma menangis terus. Chilla anak yang baik. Om Galih yakin Chilla pasti tak ingin membuat Oma bersedih kan? Chilla kuat. Chilla harus kuat. Chilla pasti kuat. Om Galih, Tante Meli, Oma, Mama dan Papa sayang sama Chilla.” Ucap om Galih dalam hatinya. Lalu mencium punggung telapak tangan Shilla. Air matanya tanpa ia sadari menetes sedikit secara perlahan.


Tante Meli ikut memegangi tangan Shilla yang sedang dipegang oleh Om Galih. Oma ikut menaruh tangannya juga di atas tangan Tante Meli. Seakan memberikan seluruh kekuatan yang mereka punya untuk gadis manis yang sedang tergeletak lemah tak berdaya ini.


Entah darimana datangnya tiba-tiba sebuah tangan yang ukurannya sedikit lebih kecil mendarat dengan perlahan di atas tangan Oma. Valerry. Yap, anak tunggal Om Galih dan Tante Meli. Valerry sudah memasuki kamar rawat Shilla sejak tadi. Valerry tau orang-orang di sini pasti sangat menyayangi Shilla. Jujur dari hati terdalam Valerry merasa –sangat- iri. Tapi....ia tau ia tak berhak iri pada orang koma yang sedang tak berdaya seperti ini. Valerry harusnya bersyukur kan? Huh.


Oma yang menyadari kehadiran Valerry sontak memeluk cucu keduanya. Yap. Walaupun om Galih dan Tante Meli yang menikah duluan tapi Clarissa dan Bramantyo lah yang memiliki anak terlebih dahulu. Walau beda umur Valerry dan Shilla tak jauh beredasih. Hanya sejam. Aneh memang seperti anak kembar tapi ternyata kandungan Clarissa usianya hanya sampai 8 bulan, sedangkan kandungan Meli yang tak lain mamanya sudah 9 bulan. Tapi ternyata malah Shilla yang bernafas terlebih dahulu. Yayaya begitulah cerita yang Valerry dengan dari Mama dan Papanya.


Valerry membalas pelukan Omanya. Sudah lama juga ia tak betemu Oma. Rindu jugasih, tapi entahlah oma merindukan dirinya juga atau tidak. kan sudah ada Shilla yang lebih segalanya dari dirinya. Iya kan?, pikirnya sarkatis.


“Oma apa kabar? Veli kangen oma.” ucap Valerry setelah melepaskan pelukan Omana.

“Oma baik-baik saja sayang. Oma juga sangan rindu sekali dengan Veli. Veli sekarang sudah besar ya? Sudah cantik. Semakin pintar juga pastinya kan?” jawab Oma sambil mengelus lembut rambut Valerry yang panjang dan terurai rapih.

Valerry tersenyum sangat manis lalu mengalihkan pandangannya kearah Shilla. Valerry mendekat ke wajah Shilla, kemudian mencium kening Shilla dan sempat berbisik sesuatu. “Chilla, cepat sembuh. Gue sayang lo.” Lalu menjauhkan kembali wajahnya.


Entahlah, se-iri apapun yang ia rasakan tetap saja ia merasa sangat sayang sekali pada kakak sepupunya itu. Ia sendiri mengakui kalau seumur hidupnya ia tak pernah dekat dengan Shilla. Yang pasti ia merasakan sesuatu yang membuatnya tak bisa benci ataupun –sok- tak peduli pada Shilla. Yang ia sendiri tak pernah mengerti apa maksudnya.


*


Ify membuka pintu penumpang mobil Deva. Sedikit terkejut ketika melihat bukan hanya ada Deva dan supirnya saja yang ada di dalam mobil. Tapi ada Cakka juga di sana. Entahlah, apa yang habis dilakukan Deva dan Cakka. Ify masih memikirkan perihal perempuan tadi yang ia tabrak. Sebenarnya dia siapasih? Kok Ify merasa sudah sangat kenal sekali dengannya. Padahal baru bertemu tadi.


“Fy?” panggil Deva ketika melihat ada yang aneh pada Ify.


Ify tersadar dari lamunannya. Lalu menghadap kea rah Deva yang sedang menatapnya dengan tatapan bingung sekaligus tak mengerti.


“kamu kenapa?” tanya Deva ketika dan mendengar jawaban dari Ify.

“engga kenapa-kenapa.” Jawab Ify seadanya.


Mobil Deva pun mulai berjalan menjauhi lobby rumah sakit. Deva masih tak mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Dan... kenapa Ify ke rumah sakit? Siapa yang sakit? Ify kah? Atau... keluarganya?


“Fy, abis ngapain lo?” tanya Cakka dari tempat duduk penumpang yang berada di depan, di sebelah supir.

“Abis jenguk temen.” Entahlah, malah kata-kata ini yang keluar dari mulutnya. “Kok lo bisa bareng Deva, kka?” tanya Ify yang penasaran juga kenapa ada Cakka di sini.

“iya tadi Cakka abis dari rumah aku. Terus dia mau pulang, yaudah sekalian aja.” Jawab Deva. “emang siapa temen kamu yang sakit?” tanya Deva kemudian.

Ify terdiam sejenak, entah mengapa ada sedikit keraguan untuk mengatakannya. Tapi toh akhirnya Ify mengatakannya juga. “Chilla...” jawabnya pelan.

“Ha?” terdengar suara Cakka tak percaya.


Ify sudah yakin pasti kaget adalah respon yang diberikan Cakka. Ify hanya mengangguk pasrah.


Cakka terdiam. Oh, berarti foto yang dishare Ray di Instagram itu benar? Shilla sedang dirawat di rumah sakit. Tapi, foto itukan Ray share sekitar seminggu yang lalu. Jadi, Shilla sudah dirawat sekitar seminggu lamanya? Ya tuhan...Shilla sakit apa? Kenapa sampai selama itu?

“Shilla? Shilla sakit apa fy?” tanya Deva yang ikut penasaran juga.

Ify menghela nafas sebelum menjawab. “Jantung...”

“What?! Maksudnya?!!” tanya Cakka semakin tak percaya.

Ify menghela nafas lagi. “Iya... Chilla emang punya penyakit jantung dari kecil, dan sekarang kambuh. Dia...Dia...” jawab Ify. Sungguh, Ify tak kuat melanjutkan kata-kata berikutnya. Kata yang kemarin Ray ucapkan padanya. Kata-kata yang membuatnya seperti dihantam berkali-kali oleh kenyataan pahit.

“Dia kenapa Fy?! Shilla kenapa?!” taya Cakka tak sabar mendengar kata-kata Ify selanjutnya.


Tubuh If bergetar pelan, terlihat sekali ia sedang menahan tangis. ‘jangan nangis Fy. Jangan.’ Ia mendoktrin pikirannya sendiri. Ia tak mau terlihat lemah, ia sudah janji pada Shilla. Pada tubuh tak berdaya Shilla lebih tepatnya. Ia sudah berjanji tak akan menjadi lemah, tak akan menjadi cengeng karena keadaan Shilla.


“Chilla...koma, kka.” Ucap Ify akhirnya bersamaan dengan beberapa tetes air mata yang mulai turun dari kedua bola matanya.


Dengan cepat Deva langsung mendekap tubuh Ify. ia benar-benar tak tega melihat kekasihnya menangis seperti itu. Deva tau pasti Ify sangat merasa bersalah lagi. Ia membelai lembut rambut panjang Ify sambil berusaha menenangkannya.


Cakka sendiri hanya terdiam dengan ekspresi tak bisa tertebak. Entahlah, hatinya sakit sekali mendengarnya. Ia merasa.....seperti di jejali pil-pil yang sangat pahit. Kenapa bisa sih? Kenapa?!kenapa harus Shilla?! Arghhh...  Cakka sendiri tak mengerti yang ia rasakan kini. Mm... Cakka masih mencintai Shilla kah? Entahlah Cakka sendiri tak mengerti... yang pasti kali ini ia merasakan hatinya sakiiit sekali mengetahui kabar ini.


*


Dua minggu berlalu...


Berarti sudah terhitung tiga minggu gadis itu tertidur lelap disini. Tapi gadis manis itu masih saja menutup kedua matanya. Tak pernah ada tanda-tanda  ia akan membuka matanya. Entah sedang berada dimana arwah gadis itu. Semua orang-orang yang menyayanginya masih setia menunggunya untuk membuka kedua matanya.


“lo kapan bangun sih Chill? Gue kangeeen bangeeettt sama lo.” Ucap seorang gadis lain yang sedang duduk di samping ranjang Shilla.


“Gue juga kangen sama lo Shill....” tiba-tiba seseorang di samping gadis itu ikut bersuara.



Ify menoleh ke arah Cakka yang sedang menatap Shilla dengan tatapan tak tertebak. Ify tak tau apa yang sedang Cakka pikirkan, tapi Ify tau bahwa Cakka masih sangat mencintai Shilla. Rasa itu masih sama seperti dulu, seperti satu tahun yang lalu dan mungkin memang takkan bisa pernah berubah. Begitu simpul Ify ketika melihat Cakka begitu tersakiti ketika melihat Shilla seperti ini.


Hari ini adalah jadwal Ify menjaga Shilla. Semenjak dua minggu yang lalu Ify menjenguk Shilla. Ify dan Oma membuat kesepakatan tak tertulis, dalam 1 minggu Ify akan menjaga Shilla selama 2 hari. Yaitu hari Selasa dan Jum’at. Ify akan menjaga Shilla dari pagi hingga malam. Jadwal ini adalah ide Ify. awalnya oma kurang setuju karena takut merepotkan Ify. tapi Ify memaksa oma untuk menyetujuinya. Akhirnya oma hanya bisa menuruti saja. Bahkan Ify juga melarang Oma ataupun keluarga Shilla yang lain untuk menjenguk Shilla pada hari Selasa, seperti hari ini. karena Ify benar-benar ingin meluangkan waktunya bersama Shilla. Bukannya Ify sok mengatur...tapi....ya begitulah Ify. Oma mengerti sekali maksud Ify, jadi oma sendiri tak protes. Lagipula tak ada salahnya kan kalau Shilla dijaga oleh sahabat yang sangat menyayanginya? Toh lagipula kalau ada apa-apa Ify juga pasti mengabari oma. jadi Oma tak begitu khawatir.


Dan hari ini juga Ify mengajak Cakka untuk menjenguk Shilla. Sebenarnya Cakka sudah lama ingin sekali menjenguk Shilla. Tapi Ify melarangnya, karena kata Ify ruang VVIP itu ruangan yang penjagaannya sangat ketat. Hanya orang-orang yang mendapatkan izin dari oma-lah yang bisa masuk. Sebenarnya bukan karena hal itu saja, tapi karena penyakit Shilla yang –sangat- serius makanya tidak boleh sembarang orang yang menjenguknya.


“mmm...kka, gue ke bawah dulu ya sebentar. Mau cari makanan, gue laper.” Kata Ify. lalu tanpa persetujuan dari Cakka ia segera bangkit dan langsung keluar dari ruang rawat Shilla.


Sekarang tinggal Cakka dan Shilla berdua di ruangan ini.


Sunyi. Sepi.


Cakka sendiri bingung harus berbuat apa sekarang. Ia hanya bisa duduk di bangku yang tadi Ify duduki dan memandangi wajah manis Shilla yang terlihat pucat.


“Shill..... aku kangen sama kamu. Aku kangen sama kamu yang dulu. Sama kamu yang suka buat aku ketawa...” kata Cakka memecah keheningan.

Cakka menggenggam tangan Shilla. Membelainya lembut. “kamu harus bangun ya Shill. Kalo kamu udah bangun aku pengen ngomong sesuatu sama kamu...” Ucap Cakka lagi. “aku mau ngomong sesuatu yang udah aku rasain sejak pertama ngeliat kamu. Ngeliat senyum kamu. Kamu mau tau kan? Makanya bangun yaa Shill..” lanjut Cakka.


“I love you Ashilla.” Bisiknya lembut di telinga Shilla, lalu Cakka mencium tangan Shilla.


*


Mengapa aku masih saja merindukanmu ketika aku sudah bersamanya? Mengapa hati ini terasa begitu sakit ketika melihat kamu bersama orang lain? Pantaskah rasa ini? pantaskah diriku masih mengharapkanmu ketika aku tau bahwa hatiku sudah berada dihati orang lain? Andai aku bisa memilih....tetap kamu yang akan menjadi pilihanku.


Sakit sekali rasanya...Kenapa harus begini tuhan?, batin seseorang yang sedang berada tepat di depan pintu ruang rawat Shilla.



Ia tak sengaja melihat adegan dimana seorang pria sedang mendekat kearah wajah seorang perempuan dan mencium lengannya pula. Yang tak lain orang itu adalah Cakka dan Shilla. Ia sendiri tak mengerti...mengapa ia harus merasa seperti ini? Bukankah ia telah memiliki seseorang yang lain di hatinya? Entahlah...Entahlah....

*

Hallo guys! finally!!!! maaf ngaret.... btw, akhirannya gantung lagi tuh;p siapa yaaa yg ada di depan ruang rawat Shilla? hayoo hayoo tebak;p;p part 18nya gatau kapan nihh....haft. btw, thanks masih mau nunggu dan baca. laafff<3

PART 19

7 komentar:

  1. di post juga nih :DD ending nyaa bkin penasaran aja nih de .. lanjutt dong :D

    BalasHapus
  2. yay! akhirnya lanjut juga :D makin seru kak! lajut terus ya kak, sukses :D (y)

    BalasHapus
  3. Hai kak Farida Riri;D hehe lanjutannya nanti yaa, ditunggu aja;D

    Hai Dinda Sheila;D wah dipanggil kaka....emang kamu kelas berapa?hehe amin, makasih yaa♥

    BalasHapus
  4. Lanjutin dong ceritanya....
    Penasaran gimana endingnya :)

    BalasHapus
  5. Hai debora siregar;D iyaa ini lagi diusahain supaya cepet di lanjut. Endingnya? Masih lama tauu.heheheee

    BalasHapus
  6. Balasan
    1. Hai, aku baru baca comment kamu! hehe udah sampe part 20 tuh:p udah baca belum? hehe

      Hapus