Pagi ini mentari tak menampakkan
dirinya. Ia sedang bersembunyi dibalik awan-awan gelap yang memenuhi langit.
Sepertinya akan turun hujan. Yayaya, memang saat ini sedang musim hujan, tidak
pagi, siang atau malam air langit yang berasal dari gerumunan awan itu akan
turun sesuka hatinya. Bahkan terkadang, walau langit terlihat cerah hujan pun
bisa turun.
Walaupun cuaca tak bersahabat, orang
tua murid Bunga Cendika Internasional Junior High School tetap berdatangan ke
sekolah. Walaupun sebenarnya bukan orang tua murid sih, melainkan perwakilan
murid. Mmm, maklum sekolah Internasional, pasti anak-anaknya terlahir dari
kalangan berada, yang biasanya orang tuanya pada bekerja di luar kota atau
bahkan di luar negri. Jadi tak jarang disini yang hadir lebih banyak ‘suruhan’
orang tua mereka, dibanding orang tua mereka sendiri. Entahlah, mereka tak
terlalu mempermasalahkan hal ini, karena faktanya mereka sudah terbiasa sejak
kecil. Ditinggal kerja orang tua yang super sibuk.
Begitu juga dengan Ify dan Ray.
Kedua orang tua mereka tak ada satupun yang bisa hadir. Ray sendiri sudah
terbiasa, paling yang mengambil tantenya. Ify juga begitu. Ia tak terlalu
peduli dengan hal ini, yang penting rapotnya segera diambil dan ia tau hasilnya
itu sudah cukup buat Ify, daripada tak diambil sama sekali. Yakan?
Beda lagi dengan Sivia biasanya
kedua orang tuanya sama-sama tak ada yang ‘tidak’ sibuk. Tapi kali ini sangat
berbeda Mama dan Papa Sivia berada disamping kiri dan kanan Sivia menemaninya,
ada yang bisa mendepskripsikan perasaan Sivia hari ini? tidak ada. Bahkan Sivia
sendiri tak tau percisnya bagaimana yang pasti ia tak pernah merasa sebahagia
ini selain saat ia dan Ray menjadi seorang kekasih.
Ray datang bersama adik Mamanya atau
tantenya. Tante Merry namanya, memang sejak mama dan papa Ray tinggal di luar
negri Ray memang tinggal bersama tante Merry di Jakarta. Hidup bersama tante
Merry tak buruk menurut Ray, tante Merry orang yang peduli padanya, mungkin
karena memang tante Merry belum menikah. Mungkin kalau bisa dibilang Ray lebih
menyayangi tantenya ini dibanding kedua orang tuanya.
Ray dan Sivia memang janjian untuk
datang pada waktu yang sama. Ray yang mengidekan ini dan Sivia tidak bisa
menolak. Teryata yang pertama sampai adalah Ray bersama tantenya lalu sekitar 5
menit kemudian baru Sivia dan mama papanya. Ternyata sudah banyak yang
mengambil rapotnya sedari tadi pagi. Hanya tinggal beberapa nama –perwakilan-
orang tua yang belum menanda tangani buku hadir.
Ray meminta izin pada tantenya untuk
ke kantin sebentar lalu mengajak Sivia yang segera meminta izin juga kepada
mama dan papanya.
Di kelas mereka hanya terlihat Bu
Reni dan Ify yang sedang membantu merapihkan sesuatu. Ya, Ify adalah sekertaris
kelas jadi harus membantu bu Reni pada hari ini. Lagipula Ify juga tak merasa
keberatan, ia jadi bisa mengambil rapotnya sendiri tanpa ‘suruhah’ papanya. Ify
sedang terlihat serius pada hal yang sedang ia kerjakan sampai tak menyadari
bahwa ada dua wali murid yang ingin mengambil rapot.
“Fy..” panggil bu Reni.
“Ya bu?” tanya Ify yang belum
menyadari.
“itu ada orang tua Ray dan Sivia.”
Ucap bu Reni.
Ify menoleh dan benar saja. Ia
langsung tersenyum dan mempersilahkan wali murid dari Ray untuk mengambil rapot
memang karena Ray duluan yang sampai. Setelah orang tua Sivia menanda tangani
buku tamu, Ify bangkit dan meminta izin pada bu Reni untuk ke kantin sebentar
membeli minum.
*
Tak selamanya sebuah kenyataan itu
pahit. Tapi mengapa kenyataan ini begitu menyakiti hati?
Kantin terlihat sangat sepi
sekarang. Iyalah, namanya juga cuma bagi rapot kan. Lagipula kebanyakan
–suruhan- orang tua mereka datangnya pagi-pagi. Karena siangnya memang masih
banyak hal yang harus dikerjakan. Ify memandangi seluruh pelosok kantin. Hanya
ada dua gerai yang buka saat ini. yang satu menjual makanan ringan beserta
minuman-minuman, yang satunya lagi menjual makanan berat seperti nasi goreng,
spagetty dan yang lainnya.
Ify berjalan perlahan menuju gerai
yang menjual makanan ringan dan minuman. Sesampainya disana ia langsung
mengambil satu minuman kaleng dari lemari pendingin –yang biasa dipakai orang
jualan itu loh-. Ify merogoh saku blazernya. Yap, karena Ify disini ditugasi
oleh bu Reni untuk membantunya, jadi Ify memakai baju sekolah.
Aduh, mampus gue, uang gue kan di
tas. Batin Ify.
“Bu.. mm, ini uang saya ada di
kelas. Saya ambil dulu ya.” Kata Ify sambil menaruh minuman itu dimeja kasir
dan sudah bersiap berlari keluar kantin.
“Fy!” tiba-tiba teriakan seseorang
membuatnya mengurungkan niatnya dan malah menoleh ke sumber suara.
“Iya vi?” tanya Ify kepada orang
yang memanggilnya tadi, yang tak lain adalah Sivia.
“ambil aja minumannya, nanti gue
yang bayar.” Jawab Sivia santai sambil tersenyum ramah.
Ify ikut tersenyum, lalu kembali ke
tempat tadi dan mengambil minumannya. Untung jugasih buat Ify diakan udah lelah
banget, masa harus kembali ke kelas dulu? Ify berjalan mendekati meja Sivia dan
Ray.
“makasih ya vi, nanti gue ganti.”
Kata Ify yang berdiri disebelah bangku Sivia.
“yaelah vi kaya sama siapa aja.
Oiya, duduk gih masa mau diri disitu terus.” ucap Sivia menunjuk pada bangku
disampingnya.
“Oiya vi, Chilla kok belum ambil
rapot ya?” tanya Ify, sebenarnya ia agak ragu untuk menanyakan hal ini. tapi
dia pernasaran juga. Biasanya Oma Shilla sudah mengambil rapot dari pagi tapi
hari ini, sampai sudah siang begini rapotnya masih bertengger rapih di meja bu
Reni.
“emm Shilla itu...” Sivia bingung
sendiri harus menjawab apa. Ia menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Masa
ia harus memberitahu Ify sih? Kalau ternyata tidak boleh sama oma bagaimana? Eh
tapikan Oma pasti sudah kenal dekat dengan Ify, secara Ify jauh lebih dulu
bersahabat dengan Shilla dibandingkan dengan dia.
Sivia menolehkan wajahnya ke arah
Ray yang sedang menoleh ke arahnya juga. Lalu mereka saling bertatap
dalam-dalam. Tatapan Sivia seakan bertanya pada Ray aku-harus-jawab-apa. Lalu
Ray hanya mengangguk. Sivia mengerti maksudnya. Tapi sekali lagi Sivia merasa
ragu akan keputusannya.
“Chilla kenapa?” tanya Ify yang
mulai merasakan ada suatu yang tidak beres pada sahabat kecilnya itu. Yayaya, mungkin
masih bisa dibilang begitu. Entahlah.
Sivia tersadar dan segera
mengembalikan arah pandangnya ke arah Ify. “Shillaa... Shillaa..” aduh ayo dong
Sivia, kenapa susah bangetsih buat bilang hal itu. Cuma 2 kata loh Vi. Shilla.
Koma. Ah, hatinya miris sendiri mengingatnya.
“Shilla koma Fy.” Ah! Akhirnya Ray
bersuara juga. Abisnya dia engga tahan juga daritadi melihat Sivia yang kayanya
susah banget buat cerita, terus Ifynya juga udah penasaran banget keliatannya.
Jengjeng. Ify merasa sesuatu telah
menghantam tepat di hatinya. Mulutnya terbuka sedikit. Matanya membelalak.
Rasanya ada berjuta-juta kata yang ia ingin keluarkan, tapi mulutnya terasa
terkunci oleh ratusan gembok yang tak kentara. Ify merasa melayang sekarang.
Bukan-bukan dirinya, tapi pikirannya juga jiwanya. Ia mencoba mencerna
kata-kata Ray tadi. Hanya dua kata. Shilla. Koma. Kata-kata itu terngiang di
telinganya.
Shilla. Koma. Shilla. Koma. Shilla.
Koma. Shilla. Koma. Shilla. Koma. Shilla. Koma.
Ify diam sibuk dengan pikiran dan
jiwanya yang sedang melayang-layang. Sivia juga terdiam. Ray yang bingung ikut
diam.
“Apa?!” tiba-tiba Ify tersedar,
seakan-akan baru terbangun dari mimpi panjang. Suaranya memecah keheningan yang
sempat terjadi tadi. Suaranya terdengar tak percaya.
“Iya.” Sivia menjawab dengan suara
pelan dan terdengar –sudah- pasrah.
“kalian bohongin gue ya? Ga lucu tau
bercandanya.” Kata Ify, suaranya terdengar agak serak menahan tangis.
“ngapain kita bohong? Bohongnya
bilang orang koma lagi. Ga ada untungnya juga.” Jawab Ray seadanya.
“iyasih....”suara Ify terdengar
semakin miris. “kok bisa?” lanjutnya, entahlah hatinya terasa sakit sekali. Lo
tuh ya fy, bodoh banget siih.... sampai-sampai hal sepenting ini lo ngga tau.
Batinnya miris.
“yagitu, ceritanya panjang. Emang lo
engga tau sama sekali?” tanya Ray polos.
Sivia memelototi Ray. Aduh Ray lo
polos apa bodoh sih.. jelas-jelas Ify sama Shilla sudah jarang. Eh ralat.
Maksudnya audah tidak pernah main bareng lagi. Rasanya Sivia ingin menelan
bulat-bulat Ray saat ini juga. Tapi ia teringat dua hal. Yang pertama, Ray itu
kekasihnya kan ngga lucu kalo dia masuk Koran dengan judul “seorang gadis
menelan bulat-bulat pacarnya di kantin sekolah tanpa alasan yang jelas” cuih.
Yang kedua, mungkin ini lebih terpikir logika, karena Sivia memang tidak suka
makan daging orang.
Oke kembali ke cerita. Ify hanya mendesah pelan mendengar ucapan Ray
barusan.
“Chilla dirawat dimana?” tanya Ify.
Sudah terlihat setetes demi setetes air mata terjatuh dari kedua mata Ify.
Terlihat sekali ia sedang menahannya agar tak jatuh terlalu banyak.
Sivia tak tega melihat Ify menangis,
karena ia tau pasti rasanya sakit sekali berada di posisinya saat ini.
sahabatnya sedang sakit separah itu tapi Ify tak tau apa-apa.
“RS. Cornelius. Kamar VVIP 3 di
lantai 5.” Jawab Sivia. “Fy, jangan nangis ya. Kita berdo’a aja buat Shilla.
Semoga dia cepet sembuh.” Lanjut Sivia. Ia sendiri merasakan air matanya ikut
menetes satu persatu bersamaan dengan kata-kata yang barusan keluar dari
mulutnya.
“Sivia juga jangan nangis ya. Kita
berdoa sama-sama buat Chilla ya.” Ify mendekat kearah Sivia yang sudah berdiri,
lalu mereka berdua berpelukan. Menguatkan hati masing-masing.
Ray terdiam melihat adegan yang
agak-menjijikan-seperti ini. Ray tau pasti dua-duanya sama terpukulnya dengan
kenyataan yang ada. Ray sendiri –jujur dari hati terdalam- sangat merasa sedih
bila mengingat keadaan Shilla. Tertidur
dalam mimpi panjang yang tanpa seorangpun ketahui kapan terbangunnya. Ray
menggeleng miris.
“Vi, Fy......” loh kok jadi aneh
gini kedengerannya.
Sivia dan Ify menoleh bersamaan.
Lalu terdiam melihat Ray yang sedang menggaruk kepalanya yang sama sekali tidak
gatal.
Lalu mereka tersenyum bersama.
Melupakan kesedihan untuk sebentar saja. Membiarkan tangisan menyingkir pergi
walau hanya sekejap saja. Tak akan ada yang tau apa yang akan terjadi pada hari
esok dan seterusnya.
*
Semua kenangan terbang terbawa
‘angin’ bersama cerita kepingan masa lalu. Bagaimana cara menggapainya lagi?
Bagaimana cara mengehentikan ‘angin’ yang membawa kenangannya itu?
Malam begitu pekat. Walau hujan
hanya turun tadi pagi, tapi awan bergerombol itu memilih untuk menetap disana.
Menutupi cahaya bulan dan menghilangkan bintang-bintang. Membuat kegalauan
semakin terasa mengenaskan pada malam itu.
Gabriel menghela nafasnya
berkali-kali. Ia tak mengerti apa yang telah terjadi saat ini. ya, setelah ia
berhasil menemukan gadis –baru- untuk hatinya itu. Entahlah, harusnya ia merasa
senang karena telah memiliki sepenuhnya seseorang yang ia sayangi dan juga
menyayanginya. Tapi ternyata hati tak pernah bisa berbohong, bahwa sampai saat
ini gadis kecilnya masih terus bertengger disana dalam diam.
Chill, please..... don’t make me
feel like i’m choose the wrong option. batinnya mengerang.
Kamu yang udah memerintahkan aku
pergi, tapi kenapa sekarang seakan-akan aku yang salah. Seakan-akan aku yang
memutuskan semua ini. Gabriel merasa hampir gila akan hal ini.
Aku tidak pernah bisa menghapus kamu
dari sini, Chilla. Ia memegangi dadanya.
Sejak saat itu, aku tak pernah bisa
merasakan sesuatu yang bergemuruh lagi. Sejak saat itu, ada yang terasa hampa,
di hati ini. Kamu. Dan akan tetap kamu yang selamanya akan ada di sini.
Gabriel mengacak-ngacak rambutnya
frustasi. Bodoh! Lo itu udah punya Zahra, Gabriel!
Gabriel menjatuhkan badannya dengan
agak kasar ke kasurnya. Berharap hentakan yang ditimbulkan akan segera
membuatnya tersadar. Tapi nyatanya? Di langit-langit kamarnya hanya ada
bayangan wajah gadis kecilnya, bukan gadis barunya. “Ck!” Gabriel berdecak.
Lalu mendorong guling di sampingnya secara kasar. Seperti sedang mengusir
seseorang yang sedang tak ia harapkan kehadirannya.
Kenapa kamu masih tetap di sini? Saat
kamu telah menyuruhku memutuskan.
Gabriel tau, pasti ada sesuatu yang
salah sedang terjadi dengan gadis kecilnya. Mungkin kalau ia sudah tau apa hal
yang salah itu, dan mencoba memperbaikinya, mungkin gadis kecil itu akan segera
hengkang dari hati dan kepalanya.
Gabriel memutuskan untuk bangkit
lalu mengambil handphonenya yang ia letakkan di meja belajarnya.
Tut...
Tut...
Tutt...tutt...tut...
Sial, tak ada jawaban.
Gabriel mencoba sekali lagi.
“Hallo?” ah! Terdengar suara khas anak-cowo-belum-puber-alias-masih-cempreng
terdengar dari ujung sana.
“Ray! Gue mau nanya sama lo.” Yap.
Gabriel menghubungi Ray yang notabene adalah sahabat Shilla.
“gue gatau jawabannya. Udah ya.
Bye.” Klik.
Sialan, salurannya diputus secara
sepihak oleh Ray. Pasti Ray masih marah kepadanya. Tapi hal ini penting sekali.
Gabriel tak tau harus bertanya pada siapa lagi. Ia tak mau menyerah. Ia mencoba
menghubungi Ray sekali lagi.
‘nomor yang anda tuju, sedang
tidak aktif. Cobalah beberapa saat lagi.’ Suara perempuan yang tak asing
bagi seluruh pemakai handphone menjawab telepon Gabriel.
RAY!, batin Gabriel geram pada
tetangga sekaligus sahabat yang sudah dianggap adiknya ini.
Entahlah, Gabriel semakin merasa
frustasi saja saat ini.
Kalau ia ke rumah Ray, apakah orang
itu mau menemuinya? Mengangkat teleponnya saja rasanya Ray tak sudi, apalagi
menemuinya. Agrh! Sehina apasih dirinya?, batinnya sarkatis.
Gabriel akhirnya memutuskan untuk
mengirimin Ray pesan singkat saja. Bodo amat deh nanti dibaca apa atau tidak.
To: RayP
Please gue butuh bgt jwban lo! Chilla
knp? Dia dmn skrng?!
Drrtt..drrt..drtt..
Gabriel mengernyit, ternyata Ray
yang membalas pesannya. Aneh juga sih Ray ini.
From: RayP
Peduli apa lo? Udh ber2an aja sana
sm bidadari br lo. Shilla gpp, dia di rmhnyalah!
Sial. Ray benar-benar bodoh atau apasih?
Jelas-jelas ia liat sendiri kemarin kalau Shilla yang menyuruhnya mengerjar
Zahra. Pasti ada yang tidak beres. Tidak mungkin Ray semarah itu padanya kalau
Shilla baik-baik saja. Iyakan?
To: RayP
Jgn bohong! Kt tmnan udh lama ray.
Please jwb yg bnr.
From: RayP
Gausah ungkit2 itu kak, gue mls
tmnan sm ba-jing-an. Lo mau tau Shilla knp? Tanya sm otak lo sndri.
Sial! Sejuta kali sial! Sumpah demi
apapun, kalau ia tak sedang ada keperluan dengan Ray pasti sekarang juga ia
akan menghampiri rumah Ray dan menonjoknya karena ucapannya barusan.
To: RayP
Gue nny baik2 sm lo. Oke kl emang
gue ba-jing-an. Tp please ksh tau gue chilla knp.
Balasnya pada Ray. Demi apapun
Gabriel benar-benar merasa seperti orang kehilangan arah sekarang. Ia
benar-benar tak ingin sesuatu terjadi pada gadis kecilnya. Karena apapun yang
gadis itu rasakan sejak dulu ia turut merasakan. Mungkinkah ia terlalu
mencintai gadis kecilnya itu? Atau ia hanya tak ingin mengulang kesalahan yang
sama? Melepaskan gadis itu, lalu bersikap uring-uringan seperti tak punya
semangat hidup.
Sekitar 5 menit ia menunggu balasan
dari Ray, tapi nampaknya Ray memang benar-benar tak ingin memberitahunya.
Astaga, rasanya ia ingin mati saja kalau begini.
Gabriel lupa, ia lupa bahwa ia telah
memiliki gadis lain. Gadis manis yang sudah –secara tak resmi- ia pilih untuk
melupakan gadis kecilnya. Tapi mengapa seakan-akan hari ini gadis itu yang
malah terlupa karena gadis kecilnya.
*
Sore Hari. Hari esoknya.
Tangisan alam itu terpecah lagi.
Seakan merasakan hal yang sama dengan mereka.
Ify turun dari mobilnya ketika
menyadari bahwa ia telah sampai di lobby RS. Cornelius. “bapak pulang aja. Saya
mungkin agak lama di sini, kalau saya sudah mau pulang nanti saya telepon
bapak.” Ucap Ify pada supirnya yang mengangguk dan berkata “baik non.” Lalu
melesat pergi meninggalkan rumah sakit itu.
Ify berjalan dengan perasaan tak
tenang. Menuju ke elevator terdeket untuk segera naik ke lantai 5. Ya, seperti
apa kata Sivia kemarin. Hari ini tak terlalu banyak penjenguk yang hadir.
Bahkan di elevator rumah sakit itu Ify hanya sendiri. Ia meratapi kebodohannya.
Lalu menggeleng-geleng lagi. Ify tak boleh terus meratap! Ia harus member
semangat pada Shilla!
Ting...
Akhirnya elevator terbuka di lantai
yang dimaksud. Ia mencari-cari petunjuk mengenai kamar-kamar rawat di lantai
ini. Ah itu dia, di sebelah penjaga ruang VVIP. Berarti ruangan Shilla ada di
belakang pintu yang dijaga oleh beberapa suster dan satu security itu.
“Permisi... anda mau ke mana?” tanya
salah satu suster dengan ramah.
“Ke.. kamar VVIP 3.” Jawab Ify
seadanya.
“mm, siapa nama pasiennya?” tanya
suster itu lagi. Bukan dengan maksud tak percaya dengan Ify. Tapi inikan rumah
sakit, apalagi ruangan yang ditujunya adalah ruangan VVIP, ruangan sangat
pribadi buat orang-orang berekonomi diatas pastinya.
“Ashilla.... Ashilla Zahrantiara.”
Jawab Ify. “Saya sahabatnya.” Lalu menambahkan dengan sedikit agak ragu.
“kalau begitu, silahkan masuk.” Kata
suster itu kemudian sambil tersenyum. Lalu menyuruh satpam di sampingnya
membukakan pintu untuk Ify.
VVIP 1...VVIP 2...VVIP 3 yap ini
dia.
Ify mengetuk pintu ruang rawat yang
bertuliskan VVIP 3 itu. Ia menunggu sebentar hingga akhirnya pintu dibuka oleh
perempuan paruh baya yang masih terlihat sangat fresh, walau di wajahnya
tersirat jelas kelelahan yang teramat dalam ia rasakan.
Tanpa menunggu waktu lama, Ify
langsung menghambur ke pelukan wanita itu. “Omaa..” ucap Ify dengan lirih.
Oma membalas pelukan Ify. Sudah lama
juga ia tak melihat Shilla bermain bersama Ify. “Hallo Fy.” Balas Oma sambil
melepaskan pelukan Ify dan mempersilahkan gadis berwajah tirus itu masuk.
“Chilla.....” ucap Ify ketika
melihat gadis yang sedang terbaring tak berdaya di tenga-tengah ruangan. Tubuh
Ify bergetar hebat. Ia tak bisa menahan air matanya. Kenapa harus lo sih Chill?
Ify berjalan perlahan mendekati
Shilla sambil berharap dalam hati semoga pengelihatannya salah, semoga itu
bukan Shilla. Tapi.....ternyata toh memang ini kenyataannya, Shilla lah yang
ada di depannya kini. Dengan tubuh dipasangi beberapa alat medis. Entah itu
oksigen, infuse, ataupun alat pendeteksi detak jantung.
Tubuh Ify semakin bergetar hebat
ketika menelusuri lebih dalam wajah tenang Shilla. Ia rindu sahabatnya itu, ia
rindu tawa sahabatnya itu, ia rindu suara riang yang terdengar dari mulut
sahabatnya itu. Chilla, maafin gue. Lirihnya dalam hati.
Ify duduk di bangku yang ada di
sebelah tempat tidur Shilla. Lalu menggenggam tangan Shilla yang tak di
pakaikan infuse, mengelusnya secara perlahan, tatapannya belum juga ia alihkan
dari wajah tenang Shilla. “Kenapa bisa kaya gini sih Chill? Kenapa lo harus
kaya gini? gue sayang sama lo Chill, maafin gue...” tiba-tiba tangisan Ify
semakin kejar. Ia menggenggam tangan Shilla seakan-akan memberikan seluruh
semangatnya untuk Shilla.
Oma mendekati Ify yang –sepertinya-
sedang terpukul sekali. Lalu mengelus puncak kepala Ify seakan-akan beliau tau
percis apa yang ia rasakan. “Fy...”
panggil oma.
Ify menoleh kearah oma yang sudah
ada disampingnya. Lalu memeluk Oma sambil duduk. Ify benar-benar tak percaya
apa yang telah dilihatnya kini. Shilla terbaring lemah, tanpa suara, tanpa tawa
bahkan hampir tanpa nyawa mungkin. “Ify ngga mau kehilangan Chilla..” ucap Ify
mengeluarkan segala kepenatannya dipelukan Oma Shilla.
Oma tersenyum mendengar ucapan Ify.
Tapi toh tetap saja, air mata oma memberontak untuk ditumpahkan lagi. Entahlah,
Oma sendiri merasa menutupi kesedihan sudah tak ada gunanya. Beliau juga tak
ingin kehilangan Shilla seperti Ify. Apalagi
beliau Omanya, beliau sudah bersama Shilla lebih lama dari Ify. “Jangan
sedih Fy, kita harus semangat. Kita harus membuat Chilla ikut semangat.” Suara oma terdengar
bergetar, menahan tangisannya yang mungkin akan semakin meledak jika dibiarkan
begitu saja.
Ify mengangguk. Melepaskan
pelukannya lalu tersenyum menatap Oma.
“Oma pasti udah lelah sekali ya
jagain Shilla disini? Oma kalau mau istirahat, istirahat aja. Kalau oma mau
pulang juga tidak apa-apa. Biar Ify yang menjaga Shilla disini.” Ucap Ify tanpa
maksud mengusir sama sekali, ia hanya tak tega melihat oma yang kelihatannya
sudah kelelahan sekali.
Oma tersenyum mendengar ucapan Ify.
Oma tau pasti Ify ingin melepaskan rindunya dengan Shilla. “yaudah, oma tinggal
dulu ya Fy. Sekalian mau ambil baju buat besok.”
Oma bersiap-siap merapihkan
barang-barangnya. Lalu setelah siap oma berjalan menuju pintu yang diiringi
oleh Ify dari belakang. “Oma istirahat yang cukup ya. Kalau boleh Ify juga ngga
apa-apa ko jagain Chilla sampe besok.”
Oma hanya tersenyum lalu keluar.
Ify menghampiri ranjang Shilla lagi.
Lalu duduk di sebelahnya dan menggenggam tangan sahabatnya –lagi-.
“Chill...pasti disini sepi ya? Tapi
lo kan dijagain sama oma.” Ify mulai bermonolog. “Chill..maaf ya waktu itu. Gue
bener-bener bodoh ya, engga guna jadi sahabat. Masa lo sakit aja gue engga tau,
sahabat macam apa gue? Haha” rasa-rasanya ia terlihat seperti orang gila
sekarang. Entahlah Ify hanya mengangkat bahu.
“Chill.. gue banyak cerita tentang
di sekolah. Mau gue ceritain ga? Mau kan? Iya kan?” tanya Ify entah pada siapa.
Mungkin pada debu-debu yang berterbangan disana.
Ify terus berceloteh ria di samping
Shilla. Tak peduli Shilla tak bisa menjawabnya, karena ia yakin walaupun tak
menjawabnya pasti Shilla mendengarkan ucapannya.
*
Oma baru selesai memasukan
baju-bajunya untuk 2 hari kedepan ketika tiba-tiba handphonenya berbunyi. Oma
memutuskan menutup resleting tasnya dulu baru mengambil handphonenya yang
bordering nyaring itu. Setelah tasnya sudah tertutup rapih oma mengambil
handphonenya dan melihat siapa yang menghubunginya. Galih, rupanya.
“Hallo?” sapa oma setelah menekan
tombol hijau.
“Hallo mam? Galih udah di bandara
soekarno-hatta. Mungkin sekitar satu jam lagi sampai di rumah.”
“jangan ke rumah. Langsung ke RS.
Cornelius saja. Tahu kan? Terus langsung menuju kamar VVIP 3 di lantai 5. Kalau
ditanya sama penjaganya bilang kamu Omnya Ashilla. Mami tunggu.”
“tunggu...tunggu... rumah sakit?
Siapa yang sakit? Mami? Atau......”
Ucapan om Galih diputus oleh oma.
“mama tunggu secepatnya.” Klik. Oma meutuskan sambungannya.
Entahlah, oma sendiri merasakan
dadanya nyeri. Bukan. Ia bukannya memiliki penyakit yang sama dengan Shilla.
Tapi ia bisa merasakan sakitnya.
*
Pintu ruang rawat Shilla terbuka
ketika Ify sedang membaca sebuah majalah di samping Shilla. Ia masih setia
menunggu Shilla sedari tadi. Ia tak peduli dengan kantuk yang menyerangnya, ia
tak peduli dengan rasa bosan yang tecipta. Yang penting ia bisa ada di sebelah
Shilla. Ia bisa menemani Shilla. Setidaknya ini lebih baik daripada saat dimana
Shilla membentang jarak dengannya. Hah, Ify Ify.
“Fy....” sapa Oma Shilla.
“eh?” Ify membalikan tubuhnya
melihat siapa yang datang. “Iya oma?” tanya Ify kemudian.
“kamu masih di sini?” tanya oma
lembut,
Ify hanya mengangguk dan tersenyum.
“tadi ada suster ke sini, katanya keadaan Shilla sudah semakin membaik.”
“Alhamdulillah..” jawab Oma sambil
tersenyum juga.”terimakasih ya Fy sudah mau menjaga Shilla dari tadi.” Lanjut
oma sambil berjalan mendekat ke arah Ify.
“Ah oma, kaya sama siapa aja. Gapapa
kok ma.”
Oma hanya tersenyum. Dan memeluk
Ify.
“Ify pulang dulu ya oma. besok Ify
kesini lagi.” Ucap Ify lalu meninggalkan ruang rawat Shilla.
Ify pun keluar dari ruangan Shilla.
Entahlah, hari ini ia merasa ada sesuatu yang kembali hidup di dalam tubuhnya.
Hari ini ia senang sekali, bisa bersama Shilla. Menjaga Shilla. Menemani
Shilla. Walau keadaan Shilla sendiri masih tidak sadar.
Ify berjalan sambil memenceti telpon
genggamnya. Ia ingin Deva yang menjemputnya.
To: Deva{}
Dev km lg dmn? jemput aku ya? Di
RS.Cornelius. aku tunggu:)
Tak lama handphonenya bergetar
menandakan ada pesan masuk. Saat Ify ingin membacanya tiba-tiba saja seseorang
menabraknya. Hampir saja handphone mahalnya itu terjatuh.
“Eh? Maaf yaa, maaf banget.” Ucap
orang itu dengan wajah merasa bersalah.
Ify terdiam sebentar, mengamati
orang itu dari ujung kaki sampai ujung kepala. Ify merasakan sesuatu yang
berbeda pada aura orang ini. Ia seperti tau, tapi ia sama sekali tak tau.
Entahlah, tapi ini rasanya benar-benar nyata, tapi...kenapa jadi seperti orang
bingung beginisih? Rasanya Ify ingin memeluk orang di hadapannya ini karena
rindu. Tunggu...tunggu.. tapikan Ify tak kenal?
“Hei?” sapa orang itu yang ikut
kebingungan melihat Ify bingung seperti itu.
“Ha? Iya gapapa ko.” Akhirnya Ify
tersadar dari lamunannya. Lalu dengan linglung ia berjalan kea rah lobby.
Handphone Ify bergetar lagi. Lebih
banyak ternyata kali ini. ada telepon rupanya. Dari Deva. Dengan segera Ify
mengangkat telepon dari Deva.
“Hallo?”
“Fy, aku udah di depan rumah sakit.
Kamu dimana? Emang siapa yang sakit? Sms ku masuk engga sih?” Ucap Deva tak
sabar.
“Iya aku udah liat mobil kamu.”
Jawab Ify lalu mematikan sambungannya dan segera berjalan kearah mobil Deva.
*
Oma sedang melahap puddingnya saat
terdengar suara pintu dibuka. Om Galih ternyata.
“Mam?” panggil om Galih.
Oma menaruh pudingnya lalu segera
menyambut Om Galih dan Tante Meli istri Om Galih. Om Galih terlihat sedikit
shock ketika melihat Shilla terbaring lemah di ranjang yang terletak di tengah
kamar rawatnya.
Oma memeluk om Galih sangat erat.
Oma rindu pada anak pertamanya ini, dan entahlah mungkin oma merasa kesepian
juga. Om Galih sendiri megerti apa yang dirasakan Mami tercintanya ini.
“Chilla kenapa mam?” tanya Om Galih
sehabis melepaskan pelukannya.
“Chilla....Chilla.... penyakit
kecilnya terdeteksi lagi Gal. dan dia koma sekarang...” jelas oma sambil
menangis tersedu-sedu. Beliau benar-benar tak kuat menutupi semuanya lagi.
Sakit. Sedih. Menyesal. Semuanya beliau rasakan sekarang.
Om Galih sempat terlihat tak percaya
sebentar, lalu dengan cepat ia memeluk Oma lagi. Mencoba menguatkan orang yang
telah melahirkan dan merawatnya itu. Om Galih tauuu sekali perasaan Oma. pasti
Oma sangat merasa bersalah pada adiknya yaitu Clarissa. Mamanya Shilla.
“kenapa bisa Mam?” tanya Om Galih
hati-hati.
“Mami sendiri tidak begitu mengerti
Gal. Ini salah mami, mami sudah teledor merawat Chilla.” Jawab Oma sambil
menahan tangisnya yang sudah mulai terhenti.
“ini bukan salah mami. Ini takdir
mam.” Tante Meli mendekati oma dan memeluk oma. Tante Meli memang orang yang
sangat baik yang Shilla kenal selain Mama, Papa, Oma dan Om Galih. Tante Meli
bisa dibilang sebagai mama yang baik buat Valerry, jadi istri yang baik buat Om
Galih, jadi menantu yang baik buat Oma, jadi kakak ipar yang baik buat Mama dan
Papa Shilla. Shilla sendiri dekat sekali dengan tante Meli, mungkin karena dulu
Shilla sempat tinggal bersama tante Meli dan Om Galih selama sebulan.
Oma menangis lagi. Oma sangat
menyayangi Shilla. Hampir 6 tahun sudah waktu yang Oma habiskan bersama Shilla.
Oma merasa dirinya terlalu santai menjaga Shilla selama ini karena tau penyakit
Jantung Shilla itu jarang kambuh malah tak pernah sama sekali. Pada
kenyataannya? Penyakit jantung memang penyakit yang bisa menyerang kapan saja.
“Galih sama Meli janji mau nemenin
Mami jagain Chilla sampai sehat kembali mam.” Ucap om Galih menenangkan hati
oma.
Oma tersenyum tipis. Terlihat
seperti dipaksakan. “tapi gimana sama Clarissa? Mami merasa sangat bersalah
Gal. Mami.....Mami....gabisa jagain Chilla dengan baik.” Entahlah, suara oma
terdengar sangat parau. Rasanya mau menangis lagi juga sudah tak bisa.
“Mami jangan merasa bersalah mam. 6
tahun mami bersama Chilla, toh Chilla baru kali ini kan seperti ini? mungkin
Chilla ingin mama dan papanya ada untuknya. Sudah 3 tahun terakhir ini Rissa
sama Bramantyo tidak pulang ke Indonesia kan?” jawab om Galih kembali
menenangkan Oma.
Oma mengangguk. Mencoba menenangkan
hatinya. Om Galih membiarkan Oma duduk di kursi yang ada di sebelah ranjang
Shilla. Sedangkan Om Galih dan Tante Meli berdiri di samping kanan dan kiri
oma. Om Galih memegang tangan Shilla, seakan-akan sedang memberikan kekuatannya
pada keponakan tersayangnya itu.
“Chilla kuat ya sayang. Pasti mama
dan papa akan datang menjenguk Chilla. Chilla harus janji sama Om Galih ya?
Chilla harus bangun. Chilla tidak boleh membuat Oma menangis terus. Chilla anak
yang baik. Om Galih yakin Chilla pasti tak ingin membuat Oma bersedih kan?
Chilla kuat. Chilla harus kuat. Chilla pasti kuat. Om Galih, Tante Meli, Oma,
Mama dan Papa sayang sama Chilla.” Ucap om Galih dalam hatinya. Lalu mencium
punggung telapak tangan Shilla. Air matanya tanpa ia sadari menetes sedikit
secara perlahan.
Tante Meli ikut memegangi tangan
Shilla yang sedang dipegang oleh Om Galih. Oma ikut menaruh tangannya juga di
atas tangan Tante Meli. Seakan memberikan seluruh kekuatan yang mereka punya
untuk gadis manis yang sedang tergeletak lemah tak berdaya ini.
Entah darimana datangnya tiba-tiba
sebuah tangan yang ukurannya sedikit lebih kecil mendarat dengan perlahan di
atas tangan Oma. Valerry. Yap, anak tunggal Om Galih dan Tante Meli. Valerry
sudah memasuki kamar rawat Shilla sejak tadi. Valerry tau orang-orang di sini
pasti sangat menyayangi Shilla. Jujur dari hati terdalam Valerry merasa
–sangat- iri. Tapi....ia tau ia tak berhak iri pada orang koma yang sedang tak
berdaya seperti ini. Valerry harusnya bersyukur kan? Huh.
Oma yang menyadari kehadiran Valerry
sontak memeluk cucu keduanya. Yap. Walaupun om Galih dan Tante Meli yang
menikah duluan tapi Clarissa dan Bramantyo lah yang memiliki anak terlebih
dahulu. Walau beda umur Valerry dan Shilla tak jauh beredasih. Hanya sejam.
Aneh memang seperti anak kembar tapi ternyata kandungan Clarissa usianya hanya
sampai 8 bulan, sedangkan kandungan Meli yang tak lain mamanya sudah 9 bulan.
Tapi ternyata malah Shilla yang bernafas terlebih dahulu. Yayaya begitulah
cerita yang Valerry dengan dari Mama dan Papanya.
Valerry membalas pelukan Omanya.
Sudah lama juga ia tak betemu Oma. Rindu jugasih, tapi entahlah oma merindukan
dirinya juga atau tidak. kan sudah ada Shilla yang lebih segalanya dari
dirinya. Iya kan?, pikirnya sarkatis.
“Oma apa kabar? Veli kangen oma.”
ucap Valerry setelah melepaskan pelukan Omana.
“Oma baik-baik saja sayang. Oma juga
sangan rindu sekali dengan Veli. Veli sekarang sudah besar ya? Sudah cantik. Semakin
pintar juga pastinya kan?” jawab Oma sambil mengelus lembut rambut Valerry yang
panjang dan terurai rapih.
Valerry tersenyum sangat manis lalu
mengalihkan pandangannya kearah Shilla. Valerry mendekat ke wajah Shilla,
kemudian mencium kening Shilla dan sempat berbisik sesuatu. “Chilla, cepat
sembuh. Gue sayang lo.” Lalu menjauhkan kembali wajahnya.
Entahlah, se-iri apapun yang ia
rasakan tetap saja ia merasa sangat sayang sekali pada kakak sepupunya itu. Ia
sendiri mengakui kalau seumur hidupnya ia tak pernah dekat dengan Shilla. Yang
pasti ia merasakan sesuatu yang membuatnya tak bisa benci ataupun –sok- tak
peduli pada Shilla. Yang ia sendiri tak pernah mengerti apa maksudnya.
*
Ify membuka pintu penumpang mobil
Deva. Sedikit terkejut ketika melihat bukan hanya ada Deva dan supirnya saja
yang ada di dalam mobil. Tapi ada Cakka juga di sana. Entahlah, apa yang habis
dilakukan Deva dan Cakka. Ify masih memikirkan perihal perempuan tadi yang ia
tabrak. Sebenarnya dia siapasih? Kok Ify merasa sudah sangat kenal sekali
dengannya. Padahal baru bertemu tadi.
“Fy?” panggil Deva ketika melihat
ada yang aneh pada Ify.
Ify tersadar dari lamunannya. Lalu
menghadap kea rah Deva yang sedang menatapnya dengan tatapan bingung sekaligus
tak mengerti.
“kamu kenapa?” tanya Deva ketika dan
mendengar jawaban dari Ify.
“engga kenapa-kenapa.” Jawab Ify
seadanya.
Mobil Deva pun mulai berjalan
menjauhi lobby rumah sakit. Deva masih tak mengerti apa yang sebenarnya terjadi.
Dan... kenapa Ify ke rumah sakit? Siapa yang sakit? Ify kah? Atau...
keluarganya?
“Fy, abis ngapain lo?” tanya Cakka
dari tempat duduk penumpang yang berada di depan, di sebelah supir.
“Abis jenguk temen.” Entahlah, malah
kata-kata ini yang keluar dari mulutnya. “Kok lo bisa bareng Deva, kka?” tanya
Ify yang penasaran juga kenapa ada Cakka di sini.
“iya tadi Cakka abis dari rumah aku.
Terus dia mau pulang, yaudah sekalian aja.” Jawab Deva. “emang siapa temen kamu
yang sakit?” tanya Deva kemudian.
Ify terdiam sejenak, entah mengapa
ada sedikit keraguan untuk mengatakannya. Tapi toh akhirnya Ify mengatakannya
juga. “Chilla...” jawabnya pelan.
“Ha?” terdengar suara Cakka tak
percaya.
Ify sudah yakin pasti kaget adalah
respon yang diberikan Cakka. Ify hanya mengangguk pasrah.
Cakka terdiam. Oh, berarti foto yang
dishare Ray di Instagram itu benar? Shilla sedang dirawat di rumah sakit. Tapi,
foto itukan Ray share sekitar seminggu yang lalu. Jadi, Shilla sudah dirawat
sekitar seminggu lamanya? Ya tuhan...Shilla sakit apa? Kenapa sampai selama
itu?
“Shilla? Shilla sakit apa fy?” tanya
Deva yang ikut penasaran juga.
Ify menghela nafas sebelum menjawab.
“Jantung...”
“What?! Maksudnya?!!” tanya Cakka
semakin tak percaya.
Ify menghela nafas lagi. “Iya...
Chilla emang punya penyakit jantung dari kecil, dan sekarang kambuh.
Dia...Dia...” jawab Ify. Sungguh, Ify tak kuat melanjutkan kata-kata
berikutnya. Kata yang kemarin Ray ucapkan padanya. Kata-kata yang membuatnya
seperti dihantam berkali-kali oleh kenyataan pahit.
“Dia kenapa Fy?! Shilla kenapa?!”
taya Cakka tak sabar mendengar kata-kata Ify selanjutnya.
Tubuh If bergetar pelan, terlihat
sekali ia sedang menahan tangis. ‘jangan nangis Fy. Jangan.’ Ia mendoktrin
pikirannya sendiri. Ia tak mau terlihat lemah, ia sudah janji pada Shilla. Pada
tubuh tak berdaya Shilla lebih tepatnya. Ia sudah berjanji tak akan menjadi
lemah, tak akan menjadi cengeng karena keadaan Shilla.
“Chilla...koma, kka.” Ucap Ify
akhirnya bersamaan dengan beberapa tetes air mata yang mulai turun dari kedua
bola matanya.
Dengan cepat Deva langsung mendekap
tubuh Ify. ia benar-benar tak tega melihat kekasihnya menangis seperti itu.
Deva tau pasti Ify sangat merasa bersalah lagi. Ia membelai lembut rambut
panjang Ify sambil berusaha menenangkannya.
Cakka sendiri hanya terdiam dengan
ekspresi tak bisa tertebak. Entahlah, hatinya sakit sekali mendengarnya. Ia
merasa.....seperti di jejali pil-pil yang sangat pahit. Kenapa bisa sih?
Kenapa?!kenapa harus Shilla?! Arghhh...
Cakka sendiri tak mengerti yang ia rasakan kini. Mm... Cakka masih
mencintai Shilla kah? Entahlah Cakka sendiri tak mengerti... yang pasti kali
ini ia merasakan hatinya sakiiit sekali mengetahui kabar ini.
*
Dua minggu berlalu...
Berarti sudah terhitung tiga minggu
gadis itu tertidur lelap disini. Tapi gadis manis itu masih saja menutup kedua
matanya. Tak pernah ada tanda-tanda ia
akan membuka matanya. Entah sedang berada dimana arwah gadis itu. Semua
orang-orang yang menyayanginya masih setia menunggunya untuk membuka kedua
matanya.
“lo kapan bangun sih Chill? Gue
kangeeen bangeeettt sama lo.” Ucap seorang gadis lain yang sedang duduk di
samping ranjang Shilla.
“Gue juga kangen sama lo Shill....”
tiba-tiba seseorang di samping gadis itu ikut bersuara.
Ify menoleh ke arah Cakka yang
sedang menatap Shilla dengan tatapan tak tertebak. Ify tak tau apa yang sedang
Cakka pikirkan, tapi Ify tau bahwa Cakka masih sangat mencintai Shilla. Rasa
itu masih sama seperti dulu, seperti satu tahun yang lalu dan mungkin memang
takkan bisa pernah berubah. Begitu simpul Ify ketika melihat Cakka begitu tersakiti
ketika melihat Shilla seperti ini.
Hari ini adalah jadwal Ify menjaga
Shilla. Semenjak dua minggu yang lalu Ify menjenguk Shilla. Ify dan Oma membuat
kesepakatan tak tertulis, dalam 1 minggu Ify akan menjaga Shilla selama 2 hari.
Yaitu hari Selasa dan Jum’at. Ify akan menjaga Shilla dari pagi hingga malam.
Jadwal ini adalah ide Ify. awalnya oma kurang setuju karena takut merepotkan
Ify. tapi Ify memaksa oma untuk menyetujuinya. Akhirnya oma hanya bisa menuruti
saja. Bahkan Ify juga melarang Oma ataupun keluarga Shilla yang lain untuk
menjenguk Shilla pada hari Selasa, seperti hari ini. karena Ify benar-benar
ingin meluangkan waktunya bersama Shilla. Bukannya Ify sok
mengatur...tapi....ya begitulah Ify. Oma mengerti sekali maksud Ify, jadi oma
sendiri tak protes. Lagipula tak ada salahnya kan kalau Shilla dijaga oleh
sahabat yang sangat menyayanginya? Toh lagipula kalau ada apa-apa Ify juga
pasti mengabari oma. jadi Oma tak begitu khawatir.
Dan hari ini juga Ify mengajak Cakka
untuk menjenguk Shilla. Sebenarnya Cakka sudah lama ingin sekali menjenguk
Shilla. Tapi Ify melarangnya, karena kata Ify ruang VVIP itu ruangan yang
penjagaannya sangat ketat. Hanya orang-orang yang mendapatkan izin dari oma-lah
yang bisa masuk. Sebenarnya bukan karena hal itu saja, tapi karena penyakit
Shilla yang –sangat- serius makanya tidak boleh sembarang orang yang
menjenguknya.
“mmm...kka, gue ke bawah dulu ya
sebentar. Mau cari makanan, gue laper.” Kata Ify. lalu tanpa persetujuan dari
Cakka ia segera bangkit dan langsung keluar dari ruang rawat Shilla.
Sekarang tinggal Cakka dan Shilla
berdua di ruangan ini.
Sunyi. Sepi.
Cakka sendiri bingung harus berbuat
apa sekarang. Ia hanya bisa duduk di bangku yang tadi Ify duduki dan memandangi
wajah manis Shilla yang terlihat pucat.
“Shill..... aku kangen sama kamu.
Aku kangen sama kamu yang dulu. Sama kamu yang suka buat aku ketawa...” kata
Cakka memecah keheningan.
Cakka menggenggam tangan Shilla.
Membelainya lembut. “kamu harus bangun ya Shill. Kalo kamu udah bangun aku
pengen ngomong sesuatu sama kamu...” Ucap Cakka lagi. “aku mau ngomong sesuatu
yang udah aku rasain sejak pertama ngeliat kamu. Ngeliat senyum kamu. Kamu mau
tau kan? Makanya bangun yaa Shill..” lanjut Cakka.
“I love you Ashilla.” Bisiknya
lembut di telinga Shilla, lalu Cakka mencium tangan Shilla.
*
Mengapa aku masih saja merindukanmu
ketika aku sudah bersamanya? Mengapa hati ini terasa begitu sakit ketika
melihat kamu bersama orang lain? Pantaskah rasa ini? pantaskah diriku masih
mengharapkanmu ketika aku tau bahwa hatiku sudah berada dihati orang lain?
Andai aku bisa memilih....tetap kamu yang akan menjadi pilihanku.
Sakit sekali rasanya...Kenapa harus
begini tuhan?, batin seseorang yang sedang berada tepat di depan pintu ruang
rawat Shilla.
Ia tak sengaja melihat adegan dimana
seorang pria sedang mendekat kearah wajah seorang perempuan dan mencium
lengannya pula. Yang tak lain orang itu adalah Cakka dan Shilla. Ia sendiri tak
mengerti...mengapa ia harus merasa seperti ini? Bukankah ia telah memiliki
seseorang yang lain di hatinya? Entahlah...Entahlah....
*
Hallo guys! finally!!!! maaf ngaret.... btw, akhirannya gantung lagi tuh;p siapa yaaa yg ada di depan ruang rawat Shilla? hayoo hayoo tebak;p;p part 18nya gatau kapan nihh....haft. btw, thanks masih mau nunggu dan baca. laafff<3
PART 19
PART 19
di post juga nih :DD ending nyaa bkin penasaran aja nih de .. lanjutt dong :D
BalasHapusyay! akhirnya lanjut juga :D makin seru kak! lajut terus ya kak, sukses :D (y)
BalasHapusHai kak Farida Riri;D hehe lanjutannya nanti yaa, ditunggu aja;D
BalasHapusHai Dinda Sheila;D wah dipanggil kaka....emang kamu kelas berapa?hehe amin, makasih yaa♥
Lanjutin dong ceritanya....
BalasHapusPenasaran gimana endingnya :)
Hai debora siregar;D iyaa ini lagi diusahain supaya cepet di lanjut. Endingnya? Masih lama tauu.heheheee
BalasHapusNungguin lanjutannya nih :)
BalasHapusHai, aku baru baca comment kamu! hehe udah sampe part 20 tuh:p udah baca belum? hehe
Hapus