Ketika kau menyadari bahwa rasa itu
ada. Kau tak akan bisa menampiknya. Satu hal , Jalani saja. Perjuangkan hatinya
jika kau menyadari rasa itu begitu tulus, pertahankan ia di hatimu jangan
sampai ada orang lain yang mencoba untuk menerobos masuk dengan memaksa dan
mengambil hatinya dari hatimu.
Beberapa hari kemudian.
Entah kenapa sejak kejadian itu Shilla
lebih sering terlihat salah tingkah ketika ia Cakka Ify dan Debo bercanda tertawa
bersama ketika Cakka melemparkan lelucon yang tidak terlalu lucu tapi terlihat
lucu ketika cakka yang berbicara. Ada apa sebenarnya dengan dirinya. Apakah ia
su…. ah tidak mungkinlah. Iakan baru mengenal Cakka dan nyaman hanya menjadi
teman bercandanya Cakka. Iapun tak pernah berharap sesuatu. Berharap memiliki
rasa itu. –dan mungkin juga- berharap Cakka memiliki rasa itu.
Tapi ternyata gadis itu tidak cukup
peka. Mungkin karena ia juga baru merasa seperti ini baru-baru ini. Shilla mana
pernah tau, dan mungkin tidak ingin tau. Walaupun ia sendiri tau bahkan dari
kelas 1 SD sudah banyak teman laki-lakinya yang ingin dekat dengannya. Tapi tanggapan Shilla sama, hanya membalas
pujian bocah laki-laki itu dengan senyum manisnya dan bersedia berteman dengan
semuanya. Mungkin karena ia masih terpaku dengan masa kecilnya.
Padahal teman-teman dekat lainnya –Ify,dan Debo-
menyadari sesuatu. Sesuatu yang janggal. Entah pada sikap Shilla maupun Cakka.
Ketika Cakka melemparkan lelucon seperti biasanya mereka tertawa seperti
biasanya pula, dengan tertawa lepas. Tapi Shilla? Ify dan Debo merasa
tawanyalah yang paling terlihat menyolok. Seakan ada sesuatu, seakan hanya
untuk Shillalah lelucon yang dilemparkan Cakka. Lalu saat semua sudah diam,
bahkan Shilla kadang-kadang masih suka tersenyum sendiri. Entah apa yang ia
fikirkan. Begitu juga dengan Cakka, ketika Shilla menimpalkan lelucon Cakka
dengan apa yang ada difikirannya, semua tertawa. Tapi Cakka? Tertawa juga
pastinya, tapi entah mengapa pula, tawanya selalu seakan mengisaratkan sesuatu.
Semilir angin meriuh-riuh tanpa
ampun diluar sebuah ruangan, kelas VII F yang biasa penghuni dan orang-orang
lain menyebutnya. Tanpa Shilla dan Cakka
sadari bahwa keduanya sama-sama meraskan hatinya terketuk, terketuk akan sebuah
rasa yang sama.
Shilla yang terketuk hatinya lebih
awal hanya merespon dengan cara tidak peduli, yaa begitulah Shilla. Lebih suka
merasa tidak peduli dengan apa yang ia rasakan. Tidak ingin berbagi dengan
siapapun. Tanpa Shilla sadari itu akan hanya menjadi sebuah bomerang bagi
dirinya. Yang kelak akan melukai hati orang lain, bahkan hatinya sendiri.
Sementara Cakka meresponnya hanya
dengan senyuman, ia akan memendamnya terlebih dahulu. Mungkin si Bejat satu ini
begitu panggilan akrab Shilla padanya sudah terlalu merasa lebih professional
dalam hal seperti ini. Sejak SD Cakka sudah memiliki pacar yang masih bertahan
sampai saat ini. Bahkan pacarnya Cakka itu adalah salah teman satu sekolahnya kini
walau tidak satu kelas. Mungkin inilah hal yang membuat Cakka lebih memendam
rasa itu dan bersikap sewajarnya walau sesungguhnya ia tau bahwa
‘Sepandai-pandainya tupai melompat pasti akan jatuh juga’ Begitulah kira-kira
pepatah yang pantas untuknya.
Shilla masih terdiam berdiri sambil
mengedarkan pandangan jauh-jauh melalui balkon kelasnya, yap. Kelas Shilla –dan
teman-temanya jug pastinya- berada di lantai dua. Semilir angin riuh yang masih
terus bertiup seakan menerpa wajahnya tanpa ampun. Sesekali ia menyeka
anak-anak rambutnya yang membandel sesekali menutupi wajah manisnya. Sesekali ia tersenyum, sesekali bibir
kecilnya seperti merapalkan sesuatu. Alasan ia tersenyum apalagi kalau bukan
gerak gerik salah tingkahnya, tubuhnya yang tiba-tiba merasa memanas, seakan
darahnya mengalir lebih cepat, dan tidak lupa jantungnya yang berdetak
menyalahi kecepatannya saat memompa darah saat berada di dekat pemuda tampan
teman sekelasnya sekaligus teman dekatnya. Kalau gerak gerik bibirnya kecilnya
itu, tentu saja karna ia menyalahi guru yang tak mengajar dikelasnya sekarang.
Kemana guru itu? bukannya ia digaji untuk mengajar? Tapi..... kenapa
seakan-akan angin yang terus bertiup itu menjadi alasan guru itu tidak datang,
batinya.
Shilla lebih memilih berdiri
mematung seperti ini daripada berada didalam kelas, percuma. Ia hanya akan
mendengar suara gaduh seperti pasar yang semua pedagangnya sedang mengobral
barang dagangannya. Ia merasa lebih tenang, bahkan ia bisa lebih merasakan
perasaan yang tak terduga yang ia rasakan beberapa bulan terakhir ini.
menyenangkan, batinnya. Shilla memang bukan anak perempuan yang pendiam, malah
ia lebih terlihat hiperaktif. Apabila ia berteriak karena sedang bercanda,
marah, ataupun kecewa cukup menggetarkan benda-bedan yang ada dikelasnya. Tapi
saat ini ia sedang membutuhkan ketenangan. Untuk sekedar berfikir, pantaskah ia
memiliki rasa itu? rasa yang menurutnya seharusnya tidak ada namun tanpa sadar
ia menyukainya.
“Shillaaaaaa……………….” Teriak Sivia
yang sedang berada di meja barisan pertama pertama kebelakang, barisan kedua
dari samping pintu.
Shilla hanya diam.
“Woy Shill…..” panggil Sivia lagi,
sekarang ia sudah berada disebelah Shilla sambil sibuk merapikan blazernya yang
berlambangkan BCIJHS.
“hmm?” jawab Shilla
“SHILLAAAA……” teriak Sivia lebih
keras lagi karna merasa di cuekin abis-abisan hari ini sama Shilla. Walaupun
Sivia tidak semeja dengan Shilla tapi ia merasa dari tadi pagi Shilla diam
saja, saat dipanggil jawabnya Cuma hmm hmm itu itu saja, saat ditanya
jawabannya singkat. Seperti sudah tidak ada semangat hidup.
“What’s up vi? Kan tadi udah gue
jawab” Jawab Shilla, santai
“Gila lo. Hem ham hem ham itu
jawaban? Lo kenapasih? Gue Tanya cuek banget. Kalo ada sesuatu cerita kali. Lo
lupa lo disini punya sahabat?” Tanya Sivia. Tepat. Shilla sedang menyembunyikan
sesuatu.
Shilla menggeleng. “nothing. I’m
fine. Just tired may be” katanya ‘Cape dengan keadaan, cape harus bersikap
normal, seakan semuanya baik-baik saja, tidak terjadi apa-apa’ batinnya
melanjutkan.
“are you sure? But I can’t see if
you fine. Lo begitu terlihat aneh”
Shilla mengangguk mantap
“yayaya whatever.” Kata Sivia lalu
berjalan masuk kekelas meninggalkan Shilla sendiri.
Belum saatnya vi. Belum saatnya lo
Zahra Agni Ify tau. Gue belum yakin, batinya. Kemudian Shilla tersenyum tipis.
*
Hati ini bertambah yakin, seakan
tak ada lagi yang bisa menghalangi rasa itu untuk terus merasuk jiwa. Ditambah
lengkungan bulan sabit yang terus terlihat dari bibirnya. Bahwa ia sangat
menyukainya, menyukai kehadiran rasa itu. tanpa ia sadari, ia belum begitu
mengerti apa yang akan ia rasakan selanjutnya. Sedih. Kecewa. Ia buang jauh
jauh dan melupakannya. Seakan dunia ini hanya miliknya, tak akan ada yang bisa
menyakitinya. Juga hatinya.
Semua yang telah terlupa seperti
kembali, memberikan sejuta jawaban akan pertanyaan yang takkan pernah terjawab
oleh hati. Apakah ini yang dinamakan cinta sejati yang selalu dinanti?
Pagi ini seperti biasa, Shilla datang hampir terlambat.
Sudah jadi bagian hidupnya kalau ia pasti sampai sekolah dengan waktu yang
mepet. Ia juga tidak mengerti, tapi menurutnya ia sangat susah untuk berangkat
lebih pagi. Pernah sih sekali-sekali, tapi besoknya ia juga kembali lagi datang
hampir terlambat. Karna menurutnya ia tidak terlambat ini, hanya hampir
terlambat. Lagipula ayahnya pemilik 2/3 saham sekolahnya ini. Siapa yang akan
berani menghukumya?
“Shilla….” Sapa Zahra salah satu
sahabat baru Shilla dengan senyum manisnya. Seperti ingin berbicara sesuatu
ketika Shilla melewati tempat duduknya.
“ya?” jawab Shilla lalu berhenti
tepat disamping bangku Zahra masih dengan ekspresi yang sama dengan kemarin,
hanya senyum tipis yang terpancar dari bibir manisnya. Tapi dengan perubahan
sedikit. Biasanya Shilla hanya akan menjawab dengan deheman seperti tidak
peduli.
“mm…. nothing. “ kata Zahra
singkat. Sebenarnya ia ingin bercerita sesuatu. Tapi, ia tak yakin bercerita
sekarang. Zahra masih melihat wajah sendu Shilla yang kemarin, sehingga Zahra
tak yakin untuk bercerita apalagi-ini-soal-perasaannya. Sedangkan ia tau
perasaan Shilla sedang tidak bagus akhir-akhir ini.
~
Hari
ini Zahra terpaksa pulang telat. Karna harus mengerjakan tugas kelompok bersama
teman-temannya. Tapi tidak bersama Shilla karena mereka berbeda kelompok.
Sebenarnya Zahra malas, karena teman-temannya terlihat tidak ada yang peduli
dengan tugas kelompok ini.
Tidak
ada satupun yang mau rumahnya di jadikan tempat untuk kerja kelompok. Zahra sih
sebenarnya mau-mau saja. Bahkan ia sudah menawarkan, tapi teman-temannya malah
menolak dengan alasan macam-macam. Ada yang bilang terlalu jauhlah, ada yang
bilang malas kalau dirumah Zahra. Yasudah akhirnya ia memberikan masukan agar
disekolah saja. Akhirnya teman-temanya setuju, walau terlihat seperti mau tak
mau.
“hhh..
dasar emang tu anak-anak males. Ih kenapa coba gue harus sekelompok sama
mereka? Nyusahin aja bisanya. Mana gue ditinggal sendirian lagi” runtuk Zahra,
berbicara sendiri.
“Nahhh.
Akhirnya beres jugakan. Emang ya mending sekelompok sama si Shilla deh. Pasti
dia mau bantuin walau sedikit, tapisih yang penting dia mau bantuin gue. Diakan
juga pinter. Eh lagian salah gue juga sih tadi nyuruh dia pulang duluan. Tapi…
diakan lagi galau gitu. Gamungkin lah gue minta tungguin” lagi-lagi Zahra
berbicara sendiri
Zahra
lalu menutup pintu kelas dan hendak pulang. Lalu saat ia melewati tangga, ia
terdiam sebentar. Zahra seperti melihat siluet sesorang. Laki-laki dan memakai
blazer berlambang BCIJHS yang sama dengannya. Ah masa ia cowo itu makhluk
halus? Inikan belum malam. Hmm tapi itu kaya kaka kelas gue. Tapi ngapain
disini?, batinnya.
Dengan
takut-takut Zahra berjalan menghampiri laki-laki yang ia yakini adalah kaka kelasnya
itu. Saat sudah dekat Zahra sangat ragu. Sapa? Tidak? Sapa? Tidak? Akhirnya ia
memberanikan diri menyapanya.
“hai
ka” sapa Zahra pelan.
Laki-laki
itupun menoleh kebelakang, menyadari ada sesorang yang menyapanya. “hai. Kamu
siapa? Ngapain jam segini masih disekolah?” Tanya laki-laki itu yang ternyata
benar kaka kelasnya. Zahra seperti tidak asing dengan kaka kelasnya itu. Zahra
sudah pernah melihatnya sesekali.
“emmm
aku Zahra ka, anak kelas 7F. emmm aku.. aku abis kerja kelompok dikelas. Kaka
sendiri?”
“Oh.
gue Gabriel. Anak 8B. gue emang biasa disini sebelum pulang. Biasanya ngobrol
sama temen-temen sekelas tapi, tadi mereka baru aja pulang”
“Oh
gitu. Em…. Yaudah deh ka. Aku pulang duluan ya” Kata Zahra mengakhiri
percakapannya. Lalu Zahra pergi.
“Hati-hati
ya” kata Gabriel sedikit keras agar Zahra dapat mendengarnya
Zahra
yang sudah agak jauh, Lalu memalingkan wajah kebelakang dan tersenyum kearah
Gabriel. Zahra merasakan sesuatu, sepertinya ia suka dengan Gabriel. Walau
tingkahnya sedikit aneh tapi Zahra sangat kagum. Dan mungkin sudah lebih dari
batas kagum, batinya lalu ia terseyum kembali.
~
Shilla hanya mengangguk dan
tersenyum lalu melanjutkan perjalanannya menuju mejanya. Yang terlihat sudah
ada Ify disana.
“Pagi Chillaaa….” Sapa Ify dengan
senyum yang sangaaat lebar. Tapi menurut Shilla senyumnya berlebihan.
“Pagi. Kenapa lo fy? Pepsoden lagi
murah ya? Senyumnya lebar bener” kata Shilla. Shilla tidak mau terlihat kaku
seperti kemarin, karna ia tau pasti akan menambahkan kecurigaan Sivia. Bisa-bisa
dia dikira depresi berat dan akan menjadi gila.
“Hehehe Gue lagi bahagia nih Chill!
Bahagiaaaaa bangeeet” kata Ify yang lagi-lagi menurut Shilla terlalu
berlebihan, lebay gitu deh istilah jaman sekarang mah.
“Seneng kenapa lo? Iih seneng
gabagi-bagi. Awas nanti malah gila lo” ejek Shilla.
“yee.. nyebelin ah lo Chill. Mau
nih gue bagi-bagi? Haha”
“yaa kalo lo gamau jadi Gila
sendirimah ya bagi-bagilah.”
“em…. Gue kayanya suka sama Deva”
Shilla mengernyit “Deva mana? Setau
gue dikelas ini gaada yang namanya deva”
“emang bukan dikelas ini Chillaa,
dikelas sebelah. Dia anak 7E, anaknya kece. Temen ekskul pramuka gue” dengan
suara lebih kecil, sengaja ia kecil-kecilkan karena Cakka juga salah satu anak
pramuka dan teman SDnya Deva
“Oooh” kata Shill sambil
mengangguk-ngangguk
“dia temenya si bejat satu nih.
Temen SDnya. Oiyaaa jangan bilangin via agni Zahra dulu yaa pliss” sambil
mengerak-gerakan dagu panjangnya kearah Cakka dan dilanjutkan dengan tatapan
memohon.