Pagi ini Zahra terlihat tak begitu semangat seperti hari-hari kemarin, tubuhnya
terlihat lemas, dan wajahnya juga terlihat sedikit pucat. Entahlah apa yang
terjadi pada gadis periang namun sedikit tempramen ini.
Agni berjalan mendekati Zahra yang sedang mengaduk-ngaduk minumannya di
kantin, sendirian. Ya, sendirian. Ah, sekarang Agni tau penyebabnya. Kemana
Gabriel yang selalu menemaninya? Dan menghiburnya ketika Zahra sedang seperti
ini? Sedang ada yang tidak beres rupanya.
“hallo ra” sapa Agni.
“hai.” Ucap Zahra sesingkat mungkin.
“Are you okay?” Tanya Agni dengan hati-hati.
“i don’t know” jawab Zahra sambil mengangkat bahu. “gue bingung ni.”
lanjut Zahra. Seperti biasanya tanpa di minta untuk cerita pasti Zahra akan
bercerita sendiri.
“kenapa? Oiya... mm.. ka Gabriel... mmm... nggak sama lo?” Tanya Agni
dengan sangat hati-hati. Ia sangat takut mengyinggung perasaan Zahra, namun ia
terlanjur penasaran.
“engga” Ucap Zahra. Lalu tersenyum. Ha.ha.ha senyum terpaksa pastinya.
“tumben....”
“tadi gue ke kelasnya. Eh ternyata dia udah keluar dari pas bel
istirahat. Gatau kemana, dan sama siapa....” ucap Zahra sembari menghela nafas
beratnya.
“mungkin dia ke photo copy ra. Ada tugas kali. Atau mungkin dia sama
OSIS rapat dadakan” kata Agni mencoba menghibur.
“mungkin... iya mungkin”
“Ra, kita tuh harus positive thinking. Gue yakin lo bisa ko”
“semoga...” ucap Zahra.
Zahra memejamka matanya, berharap
tak terjadi apa-apa. Berharap semuanya akan baik-baik saja. Zahra takut, takut
sekali kehilangan Gabriel. Apalagi mereka berdua belum terikat hubungan apapun.
Sekedar teman, ya teman. Teman yang menyimpan rasa lebih. Entahlah Zahra
benar-benar tak mengerti mengapa secepat itu Gabriel melupakannya pada saat
Zahra benar-benar memperdulikannya.
*
Jam Istirahat di taman belakang atau taman ketenangan. Gabriel, Shilla
dan Ray sedang berkumpul bertiga. Berceloteh riang apa saja yang ada di fikiran
mereka, tak peduli dengan apapun. Mereka hanya ingin melepas penat, dan bagi
Shilla dan Gabriel mereka hanya ingin melepas rindu.
Gabriel bercerita tentang hari-hari yang ia lewati setelah kepergian
Shilla, begitu juga Shilla bercerita tentang apa saja yang ia rasakan ketika
tak ada Gabriel di sisinya. Sedangkan Ray hanya menjadi pendengar yang baik,
namun kadang-kadang ia akan berbicara sesuka hatinya dengan maksud meledek.
Lalu mereka akan tertawa bersama-sama.
Tapi di sela tawanya, disela cerita-ceritanya. Hati Gabriel terasa tak
tenang, seperti ada yang terlupakan. Namun sungguh, Gabriel benar-benar tak tau
apa yang telah ia lupakan sampai sejauh ini. Shilla terlalu menjadi candu
untuknya. Seharian ia hanya bisa memikirkan gadis kecilnya itu. Hanya Chilla.
“ka, kenapa diem?” Tanya Shilla yang sedikit bingung melihat tingkah
Gabriel tiba-tiba berubah menjadi diam.
“ha? Gapapa Chill....” ucap Gabriel sembari menutupi kebingungannya.
“Ray nanti pelajaran apa? Ada ulangan nggak? Atau PR?” Tanya Shilla
kepada Ray yang merasa keadaan telah berubah karena tingkah Gabriel yang
berbeda.
“mm..... Matematika Shill. Gaada kayanya” jawab Ray seadanya.
“5 menit lagi bel, ke kelas yuk” ucap Shilla sembari melihat jam yang
berada ditangannya, lalu berdiri.
“okey” ucap Ray lalu berdiri mengikuti Shilla.
Gabriel ikut berdiri lalu berjalan mendekati Shilla. Dan menatap lekat
kedua mata Shilla. Gabriel tau bahwa sikapnya tadi telah membuat Shilla sedikit
canggung. Jadi, seakan-akan tatapan mata itu meyakinkan Shilla bahwa semuanya
baik-baik saja. Bahwa Gabriel tetaplah Arelnya Chilla. Bukan Gabrielnya
siapa-siapa. Tunggu... tunggu... memangnya ia Gabrielnya siapa? Ah entahlah,
yang pasti ia tak akan membiarkan Chillanya pergi lagi. Meninggalkannya
sendiri.
“Chilla. Aku sayang kamu. Dulu, sekarang dan kapanpun.” ucap Gabriel
pelan lalu berjalan mendahului Shilla dan Ray yang masih terdiam di belakang.
“i know it, but i not sure about this.” ucap Shilla lalu menunduk.
“kenapa?” Tanya Ray yang sedikit bingung, Ray rupanya tidak bisa membaca
aura kecemasan Shilla tentang hati Gabriel. Dan ke bingungan Gabriel tentang
apa yang ia lupakan.
“nothing.” Ucap Shilla lalu tersenyum. “Yuk ke kelas” Shilla langsung
menarik tangan Ray dan segera berjalan ke kelasnya.
*
Pelajaran matematika telah selesai, namun bukan berarti bel pulang akan
segara terdengar. Masih ada satu jam pelajaran IPA lagi ternyata. Huh, habis
hitung-hitungan sudah di sogokan itung-itungan fisika lagi.
Sedari tadi Shilla terlihat tak semangat. Seharusnya Shilla yang
biasanya akan semangat sekali menjawab pertanyaan-pertanyaan yang di tanyakan
oleh guru matematikanya, namun tadi tidak sama sekali. Bukannya mendengarkan
Shilla hanya bermain gadgetnya atau malah mecoret-coret bukunya tidak jelas.
Sesekali ia menaruh wajahnya di silangan kedua tangannya di meja. Benar-benar
terlihat seperti bukan Shilla.
“Shill?” panggil Olivia teman sebangkunya.
“ya?” Tanya Shilla seperti tak ada semangat sama sekali.
“ko diem aja? Guru IPAnya gak ada. Kita bebas, engga dikasih tugas
juga.” Ucap Olivia disertai senyum seperti biasanya.
“oh” ucap Shilla singkat lalu kembali sibuk dengan gadgetnya. Entah apa
yang ia lakukan ia juga tidak tau sebenarnya, yang pasti ia sangat jenuh sekarang.
Olivia hanya mengangkat bahu, lalu merapikan letak kacamatanya dan
melanjutkan membaca buku yang sedang ada di tangannya.
Shilla mengedarkan pandangannya ke sekelilingnya.
Terlihat Ray sedang sibuk
mendengarkan lagu dari headphonenya, lalu terlihat Cakka sedang asik mengobrol
dengan Debo dan teman-teman cowo yang lainnya, ah Cakka. Lelaki itu.... masih
saja membuat debaran tak menyenangkan di dada Shilla. Masih adakah rasa untuknya?
Ia harap tidak.
Lalu pandangannya mengarah kepada bangku dibelakang Cakka. Terlihat Ify
yang sedang terdiam, Ify memang terlihat lebih menjadi pendiam sekarang. Tak
seperti dulu pada saat ia masih dekat dengan Shilla. Menurut Ify untuk
tersenyum sekarang saja rasanya susah. Seperti ada yang hilang di hidupnya. Ia
menjadi jarang sekali berbicara kecuali dengan Sivia, ya hanya dengan Via
nampaknya. Kalaupun terpaksa berbicara dengan orang lain, Ify hanya akan
menjawab seadanya saja.
Shilla menunduk, sesungguhnya ia juga merasa hidupnya telah berubah
sekarang. Ia merasa ada yang salah dari sikapnya. Namun, ia juga tak mengerti
mengapa menjadi seperti ini. Shilla tak pernah merasa bahwa ia yang memulai.
Tapi sebenarnya tak ada salahnya jika ia yang harus mengakhiri. Namun, mau
bagaimana lagi, semua sudah terlanjur. Ia sudah termakan oleh rasa gengsinya.
Lagipula ia masih punya Ray untuk berbagi cerita. Bahkan sekarang sudah ada ka
Arel sebagai penyemangatnya. Jadi, biarlah terus seperti ini. Sampai ada yang
mau mengakhiri.
*
Bunga takkan mekar tanpa air dan matahari. Tetapi matahari tetap
bersinar, dan air akan terus mengalir tanpa bunga.
Hidup memang selalu indah bila dilalui bersama. Namun apa jadinya bila
kebersamaan terpaksa harus dipisahkan? Takkan pernah ada yang tau bukan?
Hari-hari berlalu, Shilla selalu melewati hari-harinya bersama ka Arel
dan Ray. Mereka berdua adalah penyemangat Shilla kalau Shilla sudah merasa
jenuh. Selalu saja ada hal yang bisa membuat Shilla tersenyum bahkan sampai
tertawa tebahak-bahak akibat ulah mereka. Shilla benar-benar telah menemukan
penyemangatnya yang dulu. Ia sempat menyesal telah menganggap ka Arel berubah.
Hari ini Shilla ingin keluar paling akhir dari kelasnya, ketika suasana
sudah sepi Shilla baru mau melangkahkan kakinya keluar kelas. Entah untuk apa.
Yang pasti hati Shilla menyuruhnya untuk melakukan hal itu. Shilla tak bisa
menolak, lagipula hari ini ia juga tak ada kegiatan dirumah sekaligus tak ada
teman juga yang bisa diajak bermain. Ka Arel ada kerja kelompok dirumah
temannya, sedangkan Ray ada Les Drum.
Shilla menutup pintu kelasnya perlahan, namun tiba-tiba ada seseorang
yang memanggilnya. Suara itu tak asing. Ya, ternyata suara Sivia.
“Shill, tunggu jangan di tutup dulu.” Pinta Sivia dari kejauhan. Sebenarnya
Sivia rada canggung memanggil Shilla, namun mau bagaimana lagi, ia harus
mengambil buku sejarahnya yang ia tinggal di loker kelas, karena besok ada
ulangan. Bisa gawat kalau bukunya tidak ia bawa pulang. Mau belajar pakai apa
dia nanti.
Shilla yang memang belum sepenuhnya menutup pintu kelas, reflek
membukanya kembali. Lalu ia mundur beberapa langkah menjauhi pintu dan menatapi
Sivia yang berjalan kearah kelas dengan terburu-buru.
“Gue mau ngambil buku sejarah. Maaf ya bikin lo kaget. Hehe” ucap Sivia
masih dengan nada yang canggung. Shilla hanya bisa terdiam lalu tersenyum.
Entah, mengapa percakan ini terasa begitu asing bagi Shilla. Padahal dulu ia
dengan Sivia dekat sekali. Tapi sekarang seperti dua orang yang baru beberapa
hari berkenalan.
Sivia keluar dari kelas setengah berlari. Ia melewati Shilla lalu
tersenyum padanya sambil terus berjalan. Dan tanpa Sivia sadari ia menjatuhkan
sesuatu. Sebuah buku berwarna biru muda dengan hiasan sebuah tokoh kartun teman
dari winni the pooh. Eeyore. Yap, tokoh
kartun kesukaan Sivia.
Shilla yang melihat kejadian itu terdiam sebentar lalu menghampiri buku
itu, mengambilnya lalu tersadar bahwa buku itu harus dikembalikan pada Sivia
tapi ketika ia ingin mengembalikannya kepada Sivia, ternyata SIvia sudah tidak
ada dibawah. Sepertinya ini adalah buku Diary Sivia.
Sebenarnya Shilla sama sekali tak bermaksud untuk mengambil buku ini,
apalagi untuk membawanya kerumah. Tapi mau bagaimana lagi, tidak mungkin juga
Shilla biarkan tergeletak ditempat terjatuhnya tadi, kalau diambil orang yang
tidak bertanggung jawab bagaimana? Inikan diary, pasti banyak terdapat rahasia
didalamnya.
‘Siv, maaf yaa maaf banget diary lo gue bawa pulang’ Ucap Shilla dalam
hati lalu berjalan menuju parkiran dimana tempat supirnya sudah menunggunya.
*
Zahra berkali-kali membulak-balikan buku sejarahnya, namun hasilnya sama
saja. Tak ada satupun pelajaran yang masuk ke otaknya sedari tadi. Yang ada
diotaknya hanya Gabriel Gabriel da Gabriel. Kemana sih pria itu akhir-akhir
ini? Zahra hampir gila hanya karena pemuda itu.
Bagaimana tidak, sudah hampir seminggu mereka lostcontact, setiap Zahra
ke kelasnya tapi Gabriel selalu tidak ada, begitu juga kalau Zahra kerumahnya
pasti Gabriel sedang keluar dengan temannya. Sepenting apasih temannya itu
sampai-sampai Gabriel melupakannya?
Atau jangan-jangan perhatiannya selama ini kepada Zahra hanya sekedar
perhatian biasa? Bukan berarti apa-apa? Atau hanya karena Zahra saja yang
terlalu ke geeran? Atau memang Gabriel
hanya memainkan perasaannya? Jahat sekali Gabriel kalau memang seperti itu
keadannya.
Zahra menutup buku sejarahnya lalu memasukannya kedalam tas. Percuma, ia
mau belajar selama apapun pasti hasilnya sama. Takkan ada yang masuk ke
otaknya. Lalu Zahra berjalan kearah meja kecil disisi lain tempat tidurnya.
Mengambil handphonenya. Zahra sudah muak diperlakukan seperti ini oleh Gabriel.
Bagaimanapun juga ia harus meminta alasan kepada Gabriel. Pokoknya sekarang
juga ia harus menelepon Gabriel.
Tut......tut...tut....
‘AH, SHIT!’ bentak Zahra entah kepada siapa. Bahkan untuk ditelepon saja
Gabriel tidak punya waktu.
Tak lama kemudian, handphone Zahra bergetar. Ada pesan masuk rupanya.
From: ka Gabriel:)
Hai ra, kenapa tlp? td aku lg diluar, hpnya dikamar.
Zahra tersenyum, ah ternyata ia salah. Ternyata Gabriel masih
memperdulikannya. Ternyata Gabriel masih mau mengiriminya pesan singkat. Demi
tuhan, Zahra senang sekali. Gabriel ini memang paling bisa membuatnya
tersenyum.
To: ka Gabriel:)
Hai jg. Gpp ko ka. Td cm iseng aja. Abis kgn sih sm kaka. Hehe
From: ka Gabriel:)
Oh, kirain ada apa. kgn knp cb?
Ha? Apa maksud ka Gabriel ini? Apa dia tidak merasa kangen dengan Zahra?
Tangan Zahra melemas. Seperti habis dijatuhkan dari atas awan. Zahra sudah
seperti tak punya semangat untuk membalas pesan Gabriel. Namun, hatinya tetap
memaksa untuk membalas pesan itu.
To: ka Gabriel:)
eh gpp deh. Udh lupain aja ka;) oiya bsk istirahat brg yuk ka. Udh lama
kt gaistirahat brg.
From: ka Gabriel:)
Oke. Mm... gatau deh, liat bsk aja ya ra.
To: ka Gabriel:)
Kaka sibuk ya? Yaudh deh. Maaf ganggu.
Zahra terdiam menatap Handphonenya, jawabannya sungguh tidak pas dengan
pesan Gabriel sebelumnya. Namun, ia sendiri bingung kenapa malah mengirim
kata-kata itu. Hati dan otaknya benar-benar sedang kacau. Perasaannya seperti
diaduk-aduk. Kesal namun rindu.
5 menit, 10 menit, 20, menit, 45 menit, 1 jam. Hasilnya sama, tak ada
balasan. Ah, bodoh sekali sih lo ra. Kenapa balesnya malah kaya gitu, batinnya
menyesal.
*
Terjatuh dilubang yang berbeda pada waktu yang bersamaan. Tidak mungkin
bisa. Tapi, kalau terjatuh di dua hati pada waktu bersamaan. Siapa yang tau.
Gabriel membolak-balikan handphonenya sedari tadi. Terlarut dalam
dilemanya. Ha.Ha.Ha. entahlah, tindakan bodoh apa yang selanjutnya akan ia
pilih. Seakan-akan semua pilihannya adalah salah.
Ia membaca ulang pesan-pesan singkat dari Zahra yang masih tertera di
layar handphone touch screennya. Gadis itu kenapa bisa-bisanya sih masih
mendekati Gabriel pada saat Gabriel sudah mulai mengabaikannya. Tidak, tidak.
Gabriel tidak jahat. Ia hanya ingin menikmati waktunya dengan Chilla nya dulu.
Bukan berarti ia menghapus Zahra dari dalam hatinya, ia hanya menyampingkannya.
Tidak ada niatan sama sekali untuk menghapusnya.
Bodoh memang, tapi Gabriel hanya tak ingin menyia-nyiakan waktunya
dengan Chilla, gadis kecilnya. Namun ia tak bisa memungkiri juga bahwa
tindakannya memang salah. Mengabaikan Zahra. Tapi bukan berarti ia menyakiti
hati Zahra. Ia hanya mencoba untuk adil. Zahra sudah terlalu sering diberikan
perhatian darinya, namun Chilla?
Sungguh. Itu adalah asumsi terbodoh yang pernah Gabriel keluarkan dari
otaknya.
Gabriel sendiri tidak mengerti apa yang sebenarnya ia lakukan sekarang.
Yang pasti ia hanya tak ingin melihat Chilla kesepian lagi. Ia hanya ingin
Chilla bahagia, sudah itu saja. Tapi memang seharusnya ia tak perlu menjauhi
Zahra. Tapi, apa Zahra mau di bagi perhatiannya? Kenapa tidak?
Ah, entahlah. Gabriel menaruh handphonenya di meja kecil disebelah
tempat tidurnya. Lalu membaringkan tubuhnya di tempat tidur dan mencoba
memejamkan mata.
*
Aku tak menyangka jika semuanya
menjadi seperti ini. Sahabatku suka pada teman dekatku dan cemburu padaku yang
sama sekali tak memiliki rasa padanya.
Shilla berjalan mundar-mandir mengelilingi kamar luasnya. Ditangannya
terlihat sebuah buku Diary. Oh, punya Sivia yang tadi ia temukan rupanya.
Shilla duduk disudut ranjangnya. Lalu seperti menimbang-nimbang sesuatu.
Baca, tidak, baca, tidak, baca, tidak. Ah Shilla benar-benar bimbang. Kalau ia
baca, itu perilaku yang tidak sopan. Tapi kalau tidak ia buka, rasa
penasarannya sudah sangat memuncak.
Akhirnya Shilla memutuskan untuk membuka buku diary itu perlahan.
Membaca lembar perlembarnya. Banyak hal baru yang Shilla tidak ketahui
sebelumnya. Tiba-tiba mata Shilla terbelalak melihat sebuah halaman yang
terdapat beberapa kalimat.
Shill, kamu tau engga
alasan aku ngejauhin kamu? Sebenernya aku engga tau pasti sih. Tapi hatiku
terlalu sakit ngeliat kamu deket banget sama Ray. Kapan ya aku bisa kaya kamu?
Eh, apasih aku. Emang aku kenapa sama Ray? Ah taudeh bingung!
Shilla mengerutkan keningnya. Jadii………. Selama ini Sivia……….? Kenapa dia
tidak bilang sajasih pada Shilla. Kan kalau dia bilang Shilla juga tak akan
segan-segan membantunya. Shilla kembali membuka lembar berikutnya dan….. omg!
Ternyata Sivia benar-benar cemburu padanya. Bagaimanapun juga Shilla harus
meluruskan semuanya.
Shilla berjalan menuju meja kecil di sebelah tempat tidurnya lalu
menaruh diary Sivia dan mengambil handphonenya. Lalu mencari sebuah nama di
contactnya dan mengirimkan sebuah pesan singkat. Kepada Ray rupanya.
To: Ray Prasetya
Gue mau nunjukin sesuatu ke lo bsk!
From: Ray Prasetya
Apaan? Penting bgt emg?
To: Ray Prasetya
Bgt! Jam pertama di tmn belakang! Jgn ngaret!
From: Ray Prasetya
Bsk jam pertama ulangan kali Shill:|
To: Ray Prasetya
Yaudh jam ketiga! Penting bgt soalnyaa!
From: Ray Prasetya
Iya oke.
Shilla menaruh handphonenya lagi di meja kecilnya. Lalu merenggangkan
otot-otot tangannya dan membaringkan tubuhnya dikasur lalu tertidur.
*
Pagi ini Ify memasuki koridor sekolah bersama Cakka dan Deva. Ya,
sekarang Ify dan Deva sudah memiliki hubungan khusus. Sepertinya sih dengan
bantuan Cakka mungkin. Sebenarnya pada saat-saat seperti ini, ingin sekali
rasanya Ify berbagi cerita dengan Shilla. Namun apa boleh buat. Rasanya sangat
tak mungkin.
Ditengah perjalanan Ify melihat Shilla sedang asik mengobrol dengan
Gabriel dan Ray. Mereka ber3 bercanda dan tertawa sepuas mungkin. Entahlah, Ify
tak tau pasti hubungan apa yang sekarang terjalin antara mereka. Shilla tak
pernah cerita lagi dengan Ify. Yayaya, jangankan cerita untuk berbicara satu
katapun sepertinya sudah tak pernah.
Shilla menghentikan tawanya ketika menyadari Ify, Cakka dan Deva
berjalan disebelahnya. Begitu juga Ify, ia hanya menunduk. Mereka benar-benar
seperti tak pernah kenal. Padahal mereka telah bersahabat hampir 6 tahun. Dunia
memang aneh.
“Hai kka, fy” sapa Ray ketika melihat Cakka dan Ify melewati Ray, Shilla
dan Gabriel.
“Hai Ray” sapa Cakka disertai senyum, fake smile pastinya.
Sedangkan Ify tak menjawab, ia hanya membalasnya dengan senyum.
Sebenarnya dalam lubuk hatinya ia sangat berharap sekali Shilla menyapanya atau
sekedar senyum kepadanya, namun tidak sama sekali.
Ify sempat menoleh sedikit kearah Shilla. Memperhatikannya, tapi Shilla
malah asik mengobrol dengan Gabriel yang ia ketahui kaka kelasnya. Shilla
benar-benar sudah tak membutuhkannya, ia benar-benar tak mengerti apa yang
salah dengannya dan Shilla. Ia benar-benar tak mengerti, rasanya air matanya
ingin terjatuh mengalir melewati pipinya.
Ify berjalan mendahului Cakka dan Deva. Demi tuhan, air matanya sudah
tak dapat ditahan sepertinya. Lebih baik ia pergi dari tempat itu secepatnya.
“Ray, gue duluan” Ucap Cakka yang melihat Ify sudah menjauh dari mereka.
“Oke” Ray mengangkat jempolnya lalu kembali menghadap Shilla dengan
Gabriel yang masih asik mengobrol.
Perlahan Shilla melirik kearah Cakka dan Deva yang mulai menjauh
darinya. Sebenarnya ia tadi sempat melihat kearah Ify, Shilla tau perasaan Ify
tadi pasti Ify merindukan Shilla, Ify ingin berbagi cerita dengan Shilla.
Karena apa? Karena Shilla juga merasakan itu. Shilla juga merindukan Ify,
merindukan tawanya, merindukan tatapan menyejukkannya, merindukan suara Ify
ketika mengkhawatirkannya. Tapi? Toh Ify juga sudah tidak peduli dengannya. Ify
sudah bahagia dengan laki-laki yang Shilla cintai.
Oke, oke Shilla tau ia tak berhak cemburu karena Ify tak mencintai Cakka
tetapi mencintai lelaki yang tadi ada disebelah Cakka. Tapi? Kalau Shilla iri?
Apa Ia salah? Shilla tak munafik, ia iri dengan Ify yang selalu bisa dekat
dengan Cakka? Sedangkan dia? Mungkin hanya sebagai angin lalu bagi Cakka.
“ Ray, ka Arel. Aku haus. Kita ke kantin yuk?” pinta Shilla yang mulai
merasa hatinya semakin tak tenang.
“ yaudah yuk Shill” ucap ka Arel membalas.
Setelah mereka sudah menjauhi koridor Zahra berjalan melalui Koridor
bersama Agni sambil melihat-lihat madding yang berada disana.
*
Sesampainya di kelas Ify langsung menenggelamkan wajahnya di silangan
tangannya yang terletak diatas meja. Ia benar-benar sudah tak kuat menahan
tangisnya tadi. Sekarang tangisnya meledak dikelas ini, ditempat duduknya yang
semula bersebelahan dengan Shilla. Tapi beberapa minggu terakhir ini ia duduk
sendirin disini. Tak ada yang mengusap lembut rambutnya ketika ia sedang
menangis seperti ini. Ify merindukan Chilla-nya. Sangat rindu.
“kamu kenapa?” Tanya deva ketika ia sampai dikelasnya Ify yang juga
kelasnya Cakka dan Shilla bersama Cakka.
Ify tak menjawab, yang ada malah tangisnya semakin meledak.
Deva mengangkat kepala Ify perlahan dari tempat asalnya lalu
meletakannya di pelukannya. Membiarkan Ify menangis dalam dekapannya.
“kamu jangan nangis fy” Ucap Deva menenangkan.
“aku bukan sahabat yang baik” ucap Ify lirih, air mata masih terus
mengalir di matanya.
“loh, kenapa?” Tanya Deva.
“aku bukan sahabat yang baik dev” suara Ify semakin melemas, tangisnya
semakin mejadi-jadi.
Untung saja kelas masih sepi, karena baru ada beberapa tas dikelas yang
ditinggalkan pemiliknya untuk ke kantin ataupun ke perpustakaan. Jadi, tak ada
yang melihat adegan ini kecuali Cakka yang masih terdiam.
“kamu jangan gitu fy”
“engga dev, aku emang bukan sahabat yang baik. Aku engga pernah bisa jadi sahabat yang baik”
Ucap Ify dengan nada yang tinggi dan air mata yang masih terus mengalir deras
dipipinya. Tubuh Ify bergetar hebat. Ia terus menyalahkan dirinya, seakan-akan
ia kecewa pada dirinya sendiri.
Deva merasakan getaran hebat di tubuh Ify. Ia tau jiwa ify sedang
terguncang mungkin. Deva mengeratkan pelukannya. Mencoba memberikan ketenangan
kepada Ify.
Cakka menjauh satu langkah.... dua langkah.... lalu setengah berlari
menuju balkon kelasnya. Ia teringat kejadian di taman belakang waktu itu.
Ketika Ray mendekap Shilla sama seperti saat ini, seperti saat Deva mendekap
Ify. Ia benar-benar masih tak habis fikir, mengapa sampai saat inipun Cakka
masih tak bisa melupakan Shilla. Mengapa Shilla terus mengganggu fikirannya.
Entahlah, Cakka mengacak-acak rambutnya sendiri seperti orang yang sudah sangat
frustasi.
*
Bel pelajaran telah berakhirnya jam kedua telah berbunyi. Semua murid
kelas 7F bersiap mengumpulkan kertas ulangannya ke meja guru. Begitu juga
Shilla dan Ray. Setelah menaruh kertas ulangannya Shilla langsung berjalan
kemejanya dan mengirimkan sebuah pesan singkat kepada Ray melalui handphonenya.
To : Ray Prasetya
Kalo gurunya udah keluar, kita langsung keluar. Oke?
From : Ray Prasetya
Iya iya sip.
Shilla menaruh Handphonenya kedalam sakunya. Lalu menyiapkan diary Sivia
yang ingin ia perlihatkan kepada Ray dan tak lupa ia menyiapkan sweaternya
untuk menutupi Diary Sivia. Sangat gawat sekali apabila Sivia melihat Diarynya
berada ditangan Shilla. Nanti rencananya yang ada malah gagal.
Ketika guru matematika itu menjauh dari kelas, dengan sigap Ray dan
Shilla juga keluar dari kelas. Shilla melewati meja Ify –yang dulu pernah
mejadi tempatnya juga- seperti ada hawa aneh yang terasa, seperti ada yang
menahannya lalu menyuruhnya menoleh sebentar ke arah Ify.
Shilla menuruti hasratnya itu, terlihat Ify sedang menunduk. Matanya
bengkak hampir sebesar bola pingpong. Entahlah tiba-tiba Shilla merasa luluh
melihat keadaan Ify, namun apa boleh buat niat utamanya adalah keluar kelas
bersama Ray. Lalu sejurus Ify mengengok kearah Shilla yang belum sempurna
membalikkan wajahnya. Ify tau percis, pasti tadi Shilla habis melihat
kearahnya. Tapi Shilla langsung buru-buru keluar kelas tanpa memperdulikan Ify
lagi.
Shilla dan Ray telah sampai di taman belakang, Shilla lalu duduk
dibangku panjang yang satu-satunya terletak disana dan diikuti oleh Rayyang
duduk dibangku yang sama.
“apa? Lo mau nunjukin apaan?” Tanya Ray.
“nih.” Ucap Shilla sambil memberikan Diary Sivia.
“ha? Ini apaan?” Tanya Ray bingung.
“Ini diary Raaay. Duh, gue tau yaa lo cowo. Tapi apa iya sampe diary
cewe aja lo gatau?”
“yeh Shill, gue juga tau ini Diary. Maksudnya ini Diarynya siapa?”
“Sivia. Udah baca ajasih, banyak nanya ah lo” Ucap Shilla sedikit kesal.
Ray membaca isi diary itu halaman per halaman, belum terlalu banyak yang
tertulis dibuku itu, baru sekitar 8 lembar di hari yang berbeda-beda.
Sepertinya ini diary Sivia yang baru. Ray sedikit terkesiap membacanya.
Tatapannya seperti tatapan tak percaya.
“jadi........?” Tanya Ray yang tak menyelesaikan pertanyaannya.
Shilla hanya mengangguk.
“Lo dapet darimana Shill?”
“waktu itu gue lagi dikelas sendirian pas jam pulang, eh pas gue mau
balik tiba-tiba Sivia dateng ke kelas kaya ngambil sesuatu gitu. Terus dia kaya
buru-buru gitu pas mau pulang eh tanpa dia sadar, dia ngejatohin ini. Yaudah
gue ambil. Tadinya gue gamau baca-baca, gaenak sama orangnya. Tapi setelah gue
pikir-pikir gue penasaran juga yaudah akhirnya gue ngebaca itu. Kaget kan lo?”
Ray mengangguk-ngangguk. “Kaget banget Shill.” Ucapnya tanpa mengalihkan
pandangannya dari buku Diary Sivia.
“Ray, please yaa” ucap Shilla memohon.
“kenapa?”
“you knowlah”
“kalo boleh jujur nih ya. Gue susah banget buat suka sama cewe. Dan sekarang
gue udah nemuin cewe yang bisa bikin gue luluh.” Ucap Ray menatap Shilla
serius.
“siapa?” Tanya Shilla penasaran.
“lo.”
Mata Shilla membelalak. “serius? Demi apa?” Tanya Shilla tak percaya.
“yelah Shill becanda kali gue, haha serius amat” ucap Ray sambil tertawa
terbahak-bahak.
“Raaaay” omel Shilla sambil memutar bola matanya.
“Hahaha. Maaf Shill abisnya lo serius banget tadi. Hahahaha” Ucap Ray
meledek.
“shut up! Jadi gimana? Lo juga suka kan sama Sivia?” Tanya Shilla
sedikit memaksa.
“sotaauuu woo. Haha”
“Ray ih gue seriusss” Ucap Shilla sambil mencubit lengan Ray.
“aduuhhh sakit Shill. Galak banget sih. Gue belum tau Shill.” Kata Ray
sambil mengusap lengannya yang tadi di cubit Shilla.
“belum tau? Maksudnya?”
“susah jelasinnya, ini soal hati, susah kalo diungkapin pake kata-kata.”
“gaya lo ah.”
“hahaha. Eh tapi bener tauuu”
“Iyadeh serah lo. Kapan mau kasih keputusannya?”
“keputusan apaan? Haha”
“Raaaayyy gue cubit lo lagi niih”
“Iya iyaa Shillaaaaaaaa. Haha ampun. Eh gue minta nomornya Sivia dong.”
“Ciyeeee. Hahaha Ciyee Raaayy..” ejek Shilla.
“apasih Shill?”
“haha iyaa map deh. Nih” kata Shilla sambil menunjukan beberapa nomor
yang tertera di layar handphonenya.
“oke makasih. Kantin yuk. 5 menit lagi bel. Gue laper. Nanti gue smsin
si Gabriel suruh nyusul
"oke"
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
yeah! akhirnya kesampean juga ngepost part 12. Maaf yaaa kalau ngaret banget. maklumin udah kelas 9 nih sekaraang. okeey, makasih udah mau bacaa!
PART 13
PART 13