*****************
“jadi, giama keadaan Ashilla dok?” tanya oma sekali lagi. Sungguh kali
ini rasa khawatirnya sudah tidak dapat omma sembunyikan lagi.
“mmm, Jadi seperti ini Omma. Saya menemukan sesuatu yang dulu telah
terobati namun sekarang muncul lagi.” Ucap Dr. Anwar hati-hati.
“maksud dokter?” tanya Oma Shilla yang kurang mengerti dengan ucapan Dr.
Anwar.
“pernyakit Jantung yang Ashilla miliki sejak kecil yang dulu pernah saya
taklukan, kini mulai memberontak lagi. Bahkan lebih parah daripada saat itu.”
great! Perasaan tidak enak dihati oma benar! Shillaaaaa!
Omma Shilla melemas mendengar ucapan itu.
^^^^^
Yap! Saat Shilla berumur 3 tahun, selain divonis punya penyakit asma
bawaan sejak bayi, Shilla juga divonis mempunya penyakit jantung. Gila bukan?
Saat Shilla berumur 3 tahun saja penyakitnya sudah separah itu! Ha.Ha.Ha. daan...
sebenarnya itu juga yang menyebabkan Mama dan Papa Shilla harus berkerja keras
demi kesembuhan buah hatinya tersebut yang biaya pengobatan/operasinya sampai
ratusan juta. Memang, sedari dulu keluarga Shilla berkecukupan, tapi pengobatan
itu tak cukup satu kali, jadi.... apakah cukup uang yang mama dan papa Shilla
punya saat itu? Sangat tidak cukup.
Dengan berat hati orang tua Shilla bekerja di Jakarta dan meninggalkan
Shilla di Bandung untuk sekedar membangun usaha yang tak terlalu besar, tapi
ternyata sangat tidak disangka dalam 1 tahun saja usaha itu semakin melejit dan
terkenal, karena kesempatan itu orang tua Shilla semakin giat bekerja dan
karena oprasi Shilla itu memang hanya bisa dilaksanakan 2 tahun setelah Shilla
koma jadi masih ada waktu untuk mengumpulkan uang lebih dari sekedar operasi
Shilla. Karena memang untuk kebahagiaan Shilla nantinya juga kan?
Setahun lagi berlalu, orang tua Shilla sudah menyiapkan segalanya buat
anak tercintanya, bocah kecil yang teramat polos itu. Terlihat sekali wajah
menahan rasa sesaknya itu, kasian gadis
mungil itu, ia terlalu kecil untuk merasakan sakit seperti ini. Bahkan untuk
menangis saja rasanya sudah tak mampu bagi gadis kecil ini, air matanya sudah
terkuras banyak. Tapi saat itu ia berharap sangat berharap, para dokter itu
bisa menghilangkan rasa sakitnya ini.
Dan ternyata operasinya berhasil, orang tuanya sangat senang. Ia bisa
kembali melihat anak semata wayangnya itu kembali menjadi gadis yang ceria
walau mereka tau, penyakit di tubuh anaknya itu tidak hilang, hanya semacam
dibuat pingsan.
Tapi hal itu cukup membuat orang tua si anak itu senang, setidaknya
gadis kecilnya itu masih bisa merasakan indahnya masa muda bukan? Dan
ya.....kini gadis kecil itu berubah menjadi Shilla. Shilla yang –mencoba- tegar
dan Shilla yang –mencoba- kuat. Tapi nyatanya, ternyata penyakit itu kini
bangun lagi mencoba menguasai tubuh Shilla lagi.
^^^^
“HHhh..” dokter Anwar menghela nafas beratnya. Jujur, ia juga merasa
kasihan dengan pasien pribadinya itu.
Oma tersadar dari lamunannya. “Jadi......” ucap oma pelan, bahkan
suaranya hampir tak terdengar.
“HHhh....” terdengar Dr. Anwar
menghela nafas lagi sebelum berbicara. “terpaksa Shilla harus di operasi lagi.”
Ucap Dr. Anwar hati-hati.
Tak terasa sebuah butiran bening turun dari mata Oma Shilla. Oma
sebenarnya tak tega melihat Shilla dioperasi, Oma tau pasti operasi itu rasanya
sangat menyakitkan untuk cucu kesayangannya itu, tapi..... mau bagaimana lagi.
Jalan satu-satunya hanya operasi.
“sama seperti saat dulu, operasi itu hanya bisa dilaksanakan setelah
2tahun Shilla mengalami koma...”
Oma mengangguk.
“mmm, saya atau Oma yang akan menghubungin orang tua Ashilla? Karena
saya akan mulai mengecek keadaan Ashilla secepatnya.”
“Biar saya saja dok, kalau Dokter Anwar ingin memeriksa keadaan Shilla,
periksa saja secepatnya...” ucap Oma berusaha menahan tangisnya.
‘YaTuhan, bagaimana caranya saya memberitahukan Clarissa tentang
Chilla..... Clarissa dan Bramantyo sudah memberikan kepercayaan kepada saya
untuk merawat Chilla.... tapi sekarang............’ batin Oma Shilla.
“Baiklah dok, kalau begitu saya pamit keluar.” Ucap Oma langsung
meninggalkan ruangan Dokter Anwar dan berjalan keruangan Shilla.
~
Aku telah menemukan cintaku... yang ternyata adalah kamu. Tapi, bisakah
kamu membantuku menghapus seluruh kenangan tentangnya?
Gadis itu membuka matanya perlahan, kepalanya terasa sangat pusing.
Pandangannya kabur, daan... tangannya sulit digerakan.
Zahra terus berusaha memfokuskan pandangannya, saat pandangannya sudah
tak kabur Zahra memandang kesekeliling ruangan yang ia tempati sekarang.
Inikan......kamarnya. kenapa Zahra bisa ada disini? Bukannya tadi Zahra....
“ra...” terdengar suara seseorang. Zahra menolehkan kepalanya kearah
pintu masuk kamarnya. Ternyata.......
“kkaa...kakk Gab...riie.ll” ucap Zahra terbata-bata.
“kamu udah sadar ra?” tanya Gabriel yang berjalan menghampiri tempat
tidur Zahra.
Zahra mengangguk, lalu mencoba untuk duduk bersandar di kepala tempat
tidurnya.
“Maafin.. a..ku kka.kk” ucap Zahra lalu menundukan kepalanya dalam-dalam
dan tanpa Zahra sadari air matanya menetes satu per satu melewati pipinya.
Gabriel tersenyum manis, sangat manis sekali. Senyum yang memang menjadi
anugrah tuhan untuk Gabriel!
Gabriel mengangkat kepala Zahra yang menunduk pelan-pelan dan hati-hati
agar tak menyakiti gadis itu. “I love you, Zahra Damariva.” Ucap Gabriel
kemudian.
Zahra tertegun mendengar ucapan Gabriel barusan. Ia tak bisa menutupi
wajah kagetnya. Dan air matanya malah turun semakin menjadi! Ah, apa-apaan sih
ini?!
“loh kok kamu malah nangis sih Ra? Kamu kenapa?” tanya Gabriel sambil
menatap mata Zahra dalam, seakan-akan meminta Zahra untuk bercerita jujur
kepada Gabriel.
Zahra menggeleng lalu memeluk Gabriel sangat erat. “I Love you too, kak
Gabriel Steven.” Ucap Zahra.
Zahra kembali menitihkan air matanya. Namun, ia yakin kali ini adalah
air mata bahagia. Zahra mengeratkan pelukannya lalu memejamkan matanya.
Berharap hari ini adalah akhir cerita cintanya, yang berakhir bahagia seperti
ini.
Sedangkan Gabriel yang sedari tadi membalas pelukan Zahra merasakan
kalau Zahra mempererat pelukannya, Gabriel tau maksud Zahra. Gabriel tau bahwa
Zahra tak ingin kehilangan dirinya, dan Gabriel yakin bahwa ia berpikir sama
dengan Zahra. Tapi....Gadis kecil itu terus menari-menari tanpa lelah
diotaknya, suara khas anak kecilnya seakan-akan menjadi sebuah lagu yang tak
pernah bosan Gabriel putar ditelinganya, dan kehangatan pelukan tulusnya terus
membuat Gabriel merasa hangat, bahkan hangatnya pelukan Zahra ini takakan bisa
mengalahkan hangatnya pelukan.....Chilla, gadis kecilnya.
*
Ray masih duduk dibangku yang ada disebelah ranjang rumah sakit Sivia,
sedangkan mama Sivia tertidur pulas di sofa yang ada diruang rawat Sivia. Dan
sampai detik inipun Sivia belum juga membuka matanya. Ray menggenggam tangan
Sivia dengan lembut lalu mengelusnya beberapa kali.
“Vi... bangun dong....” ucap Ray lirih. Matanya tak henti-hentinya
memandangi wajah tenang Sivia.
Tiba-tiba ada sesuatu yang bergerak-gerak pelan ditangan Ray. Ternyata
tangan Sivia! Iya tangan Sivia bergerak! Ray yang kaget lalu menjadi panik
sendiri.
“Via...Vi...” panggil Ray yang melihat kedua mata Sivia mulai bergerak
perlahan juga, seperti ingin terbuka.
“Ray... Mama... Papa....” mulai terdengar suara lembut Sivia.
“Iya vi...aku disini.” Kata Ray lalu mengelus pipi Sivia lembut.
Sivia segera membuka matanya perlahan. Sivia bisa mencium aroma ini. ya,
Sivia tau ia sedang berada kamar rawat pastinya. Sivia melihat Ray yang
ternyata masih setia menunggunya, lalu Sivia tersenyum sangat tipis. Dan segera
mengedarkan pandangannya.
“Mama...” Ucap Sivia.
Ternyata insting seorang ibu pasti sangat erat dengan anaknya, begitu
juga dengan mama Sivia. Mama Sivia membuka matanya dan sangat bersyukur karena
anak sematawayangnya, anak kesayangannya sudah sadar. Mama Sivia bangkit dari
sofa lalu berjalan menghampiri ranjang Sivia. Ray segera bangkit juga dari
tempat duduknya dan mempersilahkan mama Sivia duduk ditempat yang barusan ia
duduki.
“Sivia...” ucap mama Sivia sambil membelai lembut rambut panjang anak
gadisnya itu.
Sivia mencoba untuk bangkit dan merubah posisinya menjadi duduk
bersandar. Mama Sivia dan Ray membantu Sivia merubah posisinya. Sivia masih
terlihat agak pucat tapi wajahnya terlihat begitu riang. Berbeda dengan wajah
Sivia tadi saat ditaman belakang. Hah, sudahlah...
“Ma... kenalin ini Ray, teman dekat Sivia. Dan Ray, ini mamaku.” Ucap Sivia
ketika sudah mendapatkan posisi yang pas untuknya. Sivia tersenyum manis.
“mama udah kenal kok Vi.” Jawab mama Sivia yang disertai senyum juga.
Sungguh, senyum mama Sivia sangat manis dan mirip sekali dengan anaknya.
Sivia mengangguk dan tersenyum lagi melihat respon mamanya.
“Eh iya vi. Mm, yakin nih cuma temen deket? Apa temen special? Temen
special juga gapapa kok Vi. Hahaha” ledek mama Sivia.
Sedangkan Ray sendiri hanya tertegun lalu malu-malu mendengar ucapan
mama Sivia barusan. Dan Sivia wajahnya berubah memerah! Duh mereka berdua ini
yaaa~ memang bikin iri deh....
“Mamaaa! Apaansih ih!” ucap Sivia
sambil mencubit lengan mamanya dengan pelan dan wajahnya semakin memerah saja.
Ray hanya tertawa saja melihat
tingkah Sivia dan mamanya.
“Oiya Ray... Shilla gimana?” tanya
Sivia dengan raut wajah muka tak tenang.
Ray bingung sendiri mendengar
pertanyaan Sivia. Benar juga ya..... daritadi Ray hanya memikirkan keadaan
Sivia, tapi tidak dengan keadaan Shilla. Bagaimana keadaan gadis itu sekarang?
Kenapa Ray bisa sampai lupa begitu ya? Aduh Ray inii!
“ngg... Shilla... aku juga gatau Vi,
daritadi aku nungguin kamu.” Ucap Ray setengah menyesal juga.
“Sekarang jam berapa?” tanya Sivia
lagi.
“jam.... 3 sore vi.”
“berarti aku pingsan sekitar 2jam-an
dong?” tanya Sivia lagi sambil terlihat seperti sedang berpikir.
“mm.. yap.”
“Ma, aku ke kamar rawat Shilla
ya...” izin Sivia ke mamanya.
Mama Sivia terlihat diam sebentar
lalu mengangguk. “Pake kursi roda ya vi. Kamu belum terlalu pulih.”
“Iya ma, tenang aja. Lagian Via
ditemenin sama Ray kok.” Jawab Sivia.
*
Maaf, bukan seperti ini yang aku
mau. Aku hanya tak ingin kehilangan kamu, apa aku salah?
Agni masuk ke kamar Zahra tanpa
mengetuk pintunya terlebih dahulu. Ternyata Zahra dan kak Gabriel
sedang.....berpelukan? mmm, Agni jadi tak enak sendiri tadi tak mengetuk pintu
dulu. Ah, tapi ia sudah masuk, mau bagaimana lagikan?
“Ehmm..” Agni berdehem dengan
sengaja.
“eh?” ucap Zahra ketika tersadar ternyata sudah ada
Agni di kamarnya.
Sontak Gabrielpun menoleh lalu
mendadak menjadi salah tingkah.
“maaf ya ganggu, lanjutin aja gapapa
kok. Hehe” Ucap Agni sambil nyengir memperlihatkan gigi-giginya.
“Agni...” ucap Zahra yang tak kalah
salah tingkahnya dengan Gabriel sambil memutar bola matanya tapi dibarengi
dengan senyum malu-malu.
“Aduh, maaf ya ra, maaf ya kak, gue
Cuma mau ngaterin soup ayam buat Zahra.” Kata Agni sambil menunjukan semangkuk
soup ayam yang masih hangat. “gue keluar deh, ini soupnya gue taro sini ya.
Hehe sekali lagi maaf yaa, byeee” lanjut Agni yang langsung ngibrit keluar
kamar sambil cekikikan tidak jelas. Huh, dasar Agni nyebelin!, batin Zahra
sambil menahan malunya.
“Ra... muka kamu merah.” Ucap Gabriel
menggoda.
“Ha? Apaansih kaakk” jawab Zahra
yang semakin salah tingkah, ia malah menutup mukanya dengan telapak tangannya.
“haha.. aku suapin kamu ya.” Gabriel
berjalan menuju meja, dimana tempat soup itu ditaruh oleh Agni tadi.
Zahra hanya menggumam dan
mengangguk.
“Ayo di buka mulutnya... Aaa”
Zahra membuka mulutnya dan Gabriel
menyuapinya. So sweet.
Zahra merasa bahagia telah memiliki
Gabriel... tapi.... disamping rasa bahagia ini ada sesuatu yang menganjal
hatinya.....Zahra bimbang, tak tau harus bagaimana. Ia memang mencintai
Gabriel, tapi ia tau ada yang lebih membutuhkan Gabriel..
*
Bukan hanya raga ini yang merasakan
sakit, tapi juga perasaanku.
Ray membuka pintu kamar rawat Shilla
perlahan. Setelah pintu terbuka secara sempurna Ray kemudian memdorong kursi
roda yang di duduki Sivia mendekati oma yang sedang duduk terdiam disebelah
ranjang Shilla. Ya, oma Shilla pasti masih merasa terpukul dengan kejadian ini.
baru saja kemarin Shilla sudah dinyatakan sehat dan boleh pulang dari rumah
sakit, tapi ternyata hari ini ia harus kembali lagi dengan keadaan yang lebih
parah.
“Permisi Oma....” sapa Sivia dengan
sopan.
Oma menoleh kebelakang dan melihat
siapa yang datang lalu tersenyum. Terlihat sekali wajah lelah oma dan mata oma
yang sudah sembab sekali. Pasti Oma habis menangis sedari tadi. Bahkan,
sisa-sisa air matanya masih terpampang jelas dipipinya.
Sekarang posisi kursi roda Sivia
sudah dekat dengan tempat dimana Oma duduk. Ya, di samping ranjang Shilla.
Sivia mencoba berdiri perlahan dari kursi rodanya. Awalnya Ray mencegah Sivia,
tapi Sivia meyakinkan Ray bahwa ia tak apa-apa, bahwa ia baik-baik saja. Ray
hanya bisa menuruti Sivia.
Ray mundur beberapa langkah sambil
menarik kursi roda Sivia, agar Sivia tak sulit juga untuk berdiri. Oma sekarang
juga sudah berdiri berhadapan dengan Sivia. Sivia memeluk Oma Shilla.
“Oma... maafin Sivia..” ucap Sivia
dalam pelukan Oma.
Oma Shilla terdiam lalu mengelus
lembut rambut panjang dan lurus milik Sivia. Tak terasa butiran bening itu
terjatuh lagi dari kedua mata mereka secara bersamaan. Bahkan Sivia yang merasa
Oma Shilla tak marah padanya malah membuatnya semakin merasa sangat bersalah.
Sivia melepaskan pelukannya
perlahan. Lalu menghapus air matanya yang terus mengalir tanpa henti. “Sivia
ngga tau lagi harus gimana, Sivia benar-benar ngerasa bersalah. Sekali lagi
maafin Sivia ya Oma.” Ucap Sivia ditengah tangisannya.
Oma tersenyum kembali, membirakan
air matanya terus mengalir dan berhenti dengan sendirinya. “Ini bukan salah
Sivia. Makasih udah mau menjaga Shilla.” Jawab Oma.
Sivia menggelengkan kepalanya
beberapa kali dengan lemah lalu mengalihkan pandangannya kearah Shilla yang
masih terbaring dengan mata terpejam itu dengan tatapan merasa bersalah. “ Coba
Sivia ikut ngelarang dia buat masuk sekolah hari ini. pasti semua ini engga
bakal terjadi.”
Sivia mulai merasa keseimbangan
tubuhnya hilang, ia seperti ingin terjatuh. Tapi...dengan cepat Ray mendorong
kursi roda yang ada didepannya sedari tadi kearah Sivia. Ray tau sebenarnya
Sivia belum pulih benar dan masih sangat lemas. Hampir saja kejadian itu
membuat infuse Sivia terlepas dan terjatuh untung Oma reflek menahannya.
“Sivia... ini sama sekali bukan
salah kamu kok. Mungkin tuhan emang mau ngasih Shilla peringatan kalo dia engga
boleh ngelawan omanya. ” kata Oma sambil tersenyum mencoba tegar.
Ray dan Sivia ikut tersenyum
mendengar ucapan Oma, melihat Oma terseyum seperti itu membuat Sivia dan Ray
merasa agak tenang juga.
“Oma, Shilla sebenernya kenapa?”
sekarang gantian Ray yang bertanya.
Oma menghelas nafas panjang.
Bagaimanapun Ray dan Sivia sepertinya memang harus tau, agar bisa membantu Oma
merawat Shilla. Oma mulai menceritakan yang terjadi pada Shilla dan mengenai
penyakit lamanya itu. “Ray sudah taukan kalau Shilla punya penyakit itu? Mmm,
Jadi Oma mau minta bantuan kalian..” kata Oma.
Ray terdiam, mencoba
mengingat-ngingat. “ Operasi itu dilakukan pas Shilla umur 5tahun ya Oma? Waktu
itu Ray baru kenal sama Om Bramantyo, Om Bramantyo sih cerita kalau beliau
punya anak dan sedang sakit. Sekarang Ray baru tau kalau ternyata penyakit
Shilla separah itu.”
Oma mengangguk. Ray tediam.
^^^
Memang Papa Ray dan Papa Shilla itu
adalah rekan kerja sejak lama. Bahkan sejak setahun setelah Shilla divonis
punya penyakit Jantung. Tapi, karna papa Ray dan Papa Shilla sama sibuknya jadi
Ray maupun Shilla tak begitu mengenal satu sama lain, hanya mendengar dari
orang tua masing-masing saja. Karena memang Ray saat itu tinggal di Jakarta dan
Shilla di Bandung.
Ray kenal Shilla sejak gadis itu
pindah ke Jakarta saat umur 7tahun. Ray saat itu baru ditinggal ayahnya dan
ibunya pindah ke luar negri jadi Ray lebih suka berdiam diri karena kecewa pada
orang tuanya, walau Shilla suka mengajaknya bermain tapi Ray kadang tak peduli.
Dan, sebenarnya Ray juga tak menyangka kalau ia akan bertemu dengan Shilla lagi
di SMP. Walau Ray tau, Shilla pasti akan masuk SMP itu tapi ternyata Shilla
yang lupa padanya. Ah, mungkin karena Raynya juga yag dulu sikapnya tak
bersahabat dengan Shilla.
Ya kira-kira seperti itulah hubungan
Shilla dengan Ray sejak dulu. Tapi Ray benar-benar tak menyangka bahwa Shilla
akan lupa kalau Ray anak Pak Duta rekan kerja Papanya.
^^^
Sivia ikut terdiam mendengar obrolan
Oma dengan Ray. Oh, pantas Ray waktu itu lebih memilih bercerita dengan Shilla
daripada teman perempuan lainnya, jadi ini alasannya.
“Oiya, minta bantuan apa Oma?” tanya
Sivia memecah lamunan Ray sekaligus memecah keheningan sesaat yang terjadi
diruangan ini.
Ray yang tersadar mengangguk,
menyetujui ucapan Sivia barusan.
“Oma pengen Shilla home schooling
aja. Biar dia engga terlalu lelah. Tapi Oma yakin Shilla pasti bakalan nolak.
Jadi, Oma mau minta bantuan kalian buat ikut ngebujuk Shilla. Demi kebaikan dia
juga.” Jawab Oma.
“Sivia sama Ray mau kok bantuin
Oma.” jawab Sivia sambil tersenyum.
“Mmm, Oma mending sekarang pulang
aja kerumah. Ray sama Sivia yang bakal jagain Shilla sementara.” Ucap Ray.
“Tapi, Sivia kan....” kata Oma
melihat keadaan Sivia yang masih duduk dikursi roda.
“Sivia engga apa-apa kok. Sivia
emang suka kaya gini dari kecil. Hehe besok juga udah boleh pulang.” Jawab
Sivia ramah.
Oma mengangguk sambil tersenyum.
“makasih ya, kalian anak yang baik.” Ucap Oma.
*
Hati ini tak tenang, ada apa
sebenarnya gerangan?
Cakka membuka gorden jendela
kamarnya perlahan, langitnya gelap. Cakka melihat kearah jam dinding yang ada
dikamarnya, padahal baru jam 4 sore. Lalu Cakka menutup lagi gordennya.
Rasa-rasanya ada yang kurang beres. Tapi apa?
Cakka menuju tempat tidur singlenya.
Yaa...walaupun kamar Cakka besar tapi ia lebih memilih tempat tidur kecil itu
karena menurutnya tidak penting sebesar apa tempat tidurnya, yang penting ia
bisa merasakan nyaman saat tidur dikamarnya sendiri. Duh Cakka ini...
Ia berbaring ditempat tidurnya,
pandangannya mengarah pada dinding atas kamarnya, hatinya masih saja tak
karuan. Ia mencoba menutup matanya, tapi tiba-tiba bayangan Shilla muncul
dihadapannya. Sontak Cakka membuka matanya lagi. Ini sebenarnya ada apasih?
Agrrhh!
Daripada tak bisa tidur, Cakka
memilih untuk duduk diujung ranjangannya lalu mengambil handphonenya dan
membuka aplikasi jejaring social yang ada di handphonenya. Ternyata ia memilih
untuk membuka Instagram, sudah lama juga Cakka tak membuka Instagramnya.
Setelah memasukan Id dan Passwordnya ia segera menunggu agar segera terlihat
timeline instagramnya.
Setelah terlihat timelinenya,
tiba-tiba perhatian Cakka terpaku pada satu photo disana. Photo itu diupload
belum lama....oleh Ray ternyata. Tak ada yang special dari photo itu. Hanya ada
dua tangan perempuan yang berbeda, tetapi dua-duanya memakai infuse. Dan
keterangan foto itu adalah ‘ Get Well Really Soon my @siviaa and @AshillaZhrn
;( ‘ Oh, itu tangan Sivia dan Shilla ternyata. Tunggu...tunggu.... GWRS dan
photo tangan di infuse? Jadi.....Shilla sakit? Dia masuk rumah sakit lagi?
Apa?!
Tanpa sengaja Cakka menjatuhkan
handphone mahalnya itu. Cakka sedikit shock mengetahui kabar itu. Baru saja
tadi pagi ia bertemu Shilla di sekolahnya, dan Shilla masih terlihat baik-baik
sajakan? Tapi.... secepat itukah? Pasti ada yang tidak beres. Cakka jadi penasaran
sendiri, sebenarnya apa yang terjadi sih? Tapi sayangnya pertanyaannya itu tak
terjawab juga, karena memang ia tak tau apa-apa sekarang.
*
Sekarang sudah jam 8 malam, Oma
Shilla sudah bersiap-siap untuk kembali ke rumah sakit lagi. Tiba-tiba Handphonenya
berbunyi. Oma segera mengambil Handphone itu dan melihat siapa yang
menelponnya.... Oma terdiam melihat nama siapa yang tertera disana. Clarissa,
ya...itu mama Shilla.
“Hallo..” sapa seseorang diujung
telepon ketika Oma sudah menekan tombol jawab di layar handphonenya.
“Mami? Ini Rissa mi.” Lanjut orang
itu ketika ucapannya tak segera dijawab oleh oma.
“Iya Riss. Ada apa telepon? Tumben?”
tanya Oma mencoba menghilangkan rasa bersalahnya.
“Gapapa kok mi, Rissa kangen aja
sama Chilla. Dia kemana ya mi? Kok Rissa telepon engga bisa.” Tanya Mama Shilla
kepada Oma Shilla.
‘Chilla? Iyalah! Mana mungkin dia
mengagkat teleponmu, ia sedang koma sekarang!’ ah jawaban ini segera Oma
singkirkan dari kepalanya. “Chilla? Sepertinya sudah tidur tadi.” Jawab Oma
sekenanya saja.
“Oh sudah tidur ya? Yasudah deh.
Tapi kok tumben ya Chilla sudah tidur?” tanya Mama Shilla lagi.
“Dia kelelahan tadi abis main sama
teman-temannya. Oh ya, apa kabar kamu dan suami mu di Paris?” tanya Oma
mengalihkan pembicaraan.
“Alhamdulillah aku baik-baik saja.
Tapi Mas Bramantyo harus istirahat beberapa hari dirumah sakit. Tapi hari ini
sudah boleh pulang kok. Gimana kabar mami sama Chilla disana?”
“Bramantyo di rawat? Kenapa? Mami
dan Chilla juga baik-baik saja kok.”
“Biasa mi, jantungnya kumat. Mas
Bramantyo memang susah disuruh istirahat sebentar kalau lagi sibuk. Oiya mi,
bilangin ke Chilla jangan cape-cape. Mentang-mentang udah mau liburan. Nanti dia kambuh.”
Oma menghela nafas panjang sebelum
menjawab ucapan anak keduanya itu. Ia benar-benar merasa bersalah sekarang.
“Iya Riss. Udah dulu ya. Mami mau istirahat. Kamu jaga kesehatan ya disana. I
love you.”
Oma menutup telponnya, padahal belum
sempat dijawab oleh Mama Shilla. Oma benar-benar sudah tak bisa menahan lagi
air matanya.
*
Sunyi amat terasa disini. Gelap
seakan menjadi teman saat ini.
Hening. Ya, itu yang terasa di kamar
rawat Shilla saat ini. Oma masih dengan setia menunggu cucu kesayangannya itu
di kamar rawatnya. Beliau tak bisa
berkata apa-apa sekarang. Wajah Shilla semakin hari semakin terlihat pucat.
Badannya juga semakin terlihat kurus. Padahal baru kemarin Shilla koma. Sampai
kapan Shilla akan terus terbaring lemah seperti ini? Oma sangat tak tega
melihatnya.
Oma bingung harus meminta bantuan
pada siapa lagi. Oma tak kuat jika hanya memendamnya sendirian. Tiba-tiba oma
teringat dengan Galih. Galih adalah anak pertama Oma. Yap! Galih adalah kakak
dari mamanya Shilla yang berarti adalah Om nya Shilla. Sudah beberapa bulan
terakhir ini Galih tinggal di Indonesia, tepatnya di Yogyakarta.
Om Galih, begitu Shilla menyebutnya.
Om Galih juga hanya memiliki satu anak perempuan yang seumuran dengan Shilla.
Namanya Valerry. Shilla dan keluarga biasanya memanggilnya Veli. Veli anak yang
canti dan pintas seperti Shilla. Veli juga baik, tapi entah mengapa ia suka
merasa iri pada Shilla. Karena Oma dan Papanya sangat menyayangi Shilla. Yayaya
Veli tau kalau Shilla itu memang mempunyai ‘penyakit’ yang tak biasa dan Shilla
juga tinggal jauh dari kedua orang tuanya, sedangkan Veli ia sehat dan selalu
menadapatkan kasih sayang dari kedua orang tuanya. Tapi yaa namanya juga
manusia. Pasti punya rasa iri. Right?
Oma berpikir untuk menceritakan hal
ini pada anak pertamanya itu. Oma mengambil handphonenya dan menelpon Om Galih.
“Hallo..” terdengar suara dari ujung
telpon.
“Hallo Galih..” ucap Oma. Sekuat
tenaga Oma menahan air matanya agar tak jatuh ‘lagi’
“Iya mam. Ada apa?” tanyanya.
“kamu lagi sibuk?”
“Engga kok mam. Galih lagi santai.
Ada apa memangnya? Tumben mami telpon.”
“kamu bisa datang ke Jakarta?” tanya
Oma lagi, tanpa menjawab pertanyaan Om Galih.
“ke Jakarta? Kapan? Memangnya ada
apasih Mam?”
“hari ini. ada yang mau mami
omongin. Ajak Valerry sama istrimu juga. Valerry sudah mulai liburankan?”
“iya sudah. Memangnya ada apa? Kasih
tau dong mi.”
“mami tunggu dirumah secepatnya.
Kalau sudah masuk Jakarta kasih tau mami.”
“Iya mi. Tapi sebenarnya ada a....”
tut.tut.tut.
Oma segera mematikan handphonenya
dan meletakannya di nakas rumah sakit. Oma sendiri bingung, bagaimana cara
memberitahukan Galih? Ah itu urusan nanti sajalah. Setidaknya Oma tak akan
sendirian lagi menjaga Shilla sekarang.
*
Setiap sebuah kejadian pasti aka
nada hikmahnya. Entah apapun itu yang pasti jangan pernah sesali sebuah
kejadian yang telah terjadi.
Sore ini Sivia sudah boleh pulang.
Setelah semalam ia bermalam di kamar rawatnya ini. Sivia sangat senang. Ia
sungguh sangat tak betah berada di rumah sakit. Memangsih jadi lebih mudah
untuk melihat keadaan Shilla, tapi tetap saja di rumah sakit itu membosankan.
Terlihat beberapa suster di ruang
rawatnya sedang melepaskan infuse yang ada ditangan Sivia dengan hati-hati.
Mamanya sedang merapihkan barang-barang Sivia dan barang-barangnya sendiri,
baik yang ada di nakas sebelah tempat tidur Sivia maupun di meja ruang tamu ruang
rawat Sivia. Suster-suster itu sudah selesai melepaskan infuse dari tangan
Sivia.
“Sivia, kamu tidak boleh terlalu
lelah dulu ya untuk beberapa hari ini.” ucap seorang dokter perempuan muda yang
baru saja masuk sambil membawa beberapa hasil tes kesehatan Sivia.
“Iya dok.” Jawab Sivia seadanya.
“Dok, tau pasien yang bernama Ashilla?” lanjut Sivia.
“Hmmm, ya. Ada apa?”
“bagaimana keadaannya dok?” tanya
Sivia penasaran.
“Saya kurang tau, tapi tadi
sepertinya keadaannya mulai membaik, walaupun belum ada tanda-tanda bahwa ia
akan segera sadar.” Jawab dokter itu dengan jujur.
“mmm, terimakasih dok informasinya.”
Jawab Sivia, entah mengapa ada sedikit perubahan pada raut wajahnya. ‘Shil,
cepet bangun ya. Gue pengen liburan bareng sama lo.’ Batinnya lirih.
“Sama-sama. Kamu tenang saja,
Ashilla kan dirawat oleh dokter pribadinya yang sudah sangat berpengalaman.
Pasti Ashilla akan cepat sembuh.” Ucap dokter itu sambil tersenyum berusaha
menenangkan Sivia. Ia melihat raut wajah Sivia yang mulai sedikit berubah, ia
menjadi tak tega. Ia tau bahwa Sivia memang sangat menyayangi sahabatnya itu,
karena Sivia sering menghilang dari kamar rawatnya untuk menemani Shilla.
Sivia mengangguk samar.
“Baiklah kalau begitu, silahkan
dilanjut beres-beresnya. Saya permisi ya bu, Sivia. Kalau sudah selesai bisa
hubungi suster-suster di sini untuk membantu.” Dokter itupun keluar bersama 2
suster yang tadi melepaskan infuse Sivia.
Sivia tak menjawab, ia hanya
tersenyum pada dokter dan 2 suster itu. Begitu juga mamanya. Sivia menoleh ke
arah mamanya. Mamanya terlihat sedang agak sibuk membereskan tas Sivia. Sivia
melihat wajah mamanya dengan seksama. Wajah mama Sivia sangat cantik. Walaupun
sudah memiliki satu anak perempuan anak berumur 13 tahun tapi wajahnya tetap
terlihat muda. Tapi, ketika Sivia melihat dengan lebih jelas terlihat wajah
lelah disana. Yap, Sivia tau kalau mamanya pasti sangat lelah. Setiap hari
berkerja dari pagi sampai malam, bahkan hari Minggu pun seperti itu. Tapi entah
bagaimana dari kemarin semenjak mendengar berita Sivia masuk rumah sakit
mamanya tak ke kantor. Mamanya memilih tetap menjaga Sivia, walaupun Sivia tau
pasti kerjaannya di kantor sangat banyak sekali.
Sivia mengalihkan pandangannya,
sekarang ia menatapi lantai. Sivia tak pernah mengerti mengapa mama dan papanya
harus menjadi orang super sibuk yang tak memperdulikannya. Bahkan mama dan
papanya selalu bertengkar. Padahal dulu saat Sivia berumur 3tahun mereka
bertiga sangat akrab. Tapi entahlah, Sivia tak pernah berani menanyakan hal ini
kepada kedua orang tuanya.
“Ma..” tiba-tiba Sivia membuka
suaranya tanpa ia sadari.
“ Ya sayang? Sivia mau apa? Biar
mama ambilkan, tapi tunggu dulu ya. Ini sebentar lagi selesai.” Jawab mamanya
tanpa memanglingkan pandangannya kearah Sivia.
“Mama....” ucap Sivia lagi. Tanpa ia
sadari air matanya sudah menetes sedikit demi sedikit ke lantai.
“Apa vi? Iya iya ini mama u...”
mamanya menghentikan ucapannya ketika menghadap kearah Sivia. Ia bingung kenapa
tiba-tiba anak semata wayangnya itu menangis. “Via kenapa?” tanya mamanya sambil
berjalan mendekati Sivia.
Sivia tak menjawab, ia hanya
menggeleng dan menutup kedua matanya. Air matanya semakin banyak yang
berjatuhan.
“Vi.. kamu kenapa? Cerita sama
mama..” ucap mamanya sambil memeluk Sivia dan membelai lembut anak kesayangnnya
itu.
Sivia menggeleng lagi. Mulai
terdengar isakkan-isakkan dari dalam mulutnya. Sivia sendiri bingung mengapa ia
menangis.
“ayoo cerita sama mama. Kenapa sih
Vi? Mama siap ko mendengarkan.” Mamanya tak henti-hentinya bicara dan memaksa
–secara lembut- agar Sivia mau bercerita.
Sivia melepaskan pelukan mamanya,
lalu membuka matanya perlahan dan mengapus air matanya yang terus mengalir
dengan deras.
“kenapasih sekarang mama sama papa
berubah? Mama sama papa udah engga peduli lagi sama Sivia.” Ucap Sivia
disela-sela isakkannya.
Mamanya terdiam. Mengerti maksud
anak satu-satunya ini.
Mama Sivia menggeleng. “Mama engga
pernah bermaksud untuk tidak memperdulikan kamu vi...” jawabnya.
“tapi mama dan papa engga pernah mau
tau keadaan Sivia. Mama dan papa hanya mau bekerja-bekerja dan bekerja. Pulang
kerja mama dan papa berantem terus. Sivia takut dengernya. Sivia...... Sivia
takut kehilangan mama atau papa. Sivia engga mau sendirian.” Jawab Sivia
menggebu-gebu. Air matanya mengalir semakin deras. Ia sudah tak peduli lagi
dengan air matanya, yang penting ia bisa lega karena sudah mengeluarkan
unek-uneknya selama beberapa tahun terakhir ini.
Mama Sivia tersenyum miris mendengar
ucapan anak perempuannya yang sudah mulai beranjak dewasa ini.
“Mama bekerja, untuk kamu vi. Mama
engga mau ngeliat kamu hidup susah. 3 tahun kemarin perusahan papa kamu hampir
bangkrut. Semua saham hilang. Papa bingung, mamapun lebih bingung. Mama takut
kita bangkrut dan kamu..... ikut-ikutan susah nak. Makanya mama memutuskan
untuk bekerja di perusahaan kakek kamu untuk membantu papa kamu.” Jawab mama
Sivia sejujur-jujurnya. Ia tau Sivia sudah dewasa dan memang sudah berhak tau
akan hal ini.
Sivia terdiam mendengar penjelasan
mamanya, tapi sesenggukan dari mulutnya belum bisa ia hentikan.
“maafin mama sama papa kalau kita
suka bertengkar. Mama dan Papa sama-sama sedang lelah mengurusi kerjaan kita
masing-masing. Papamu masih terus berusaha membangun kembali perusahaannya, dan
mama engga mau dibilang bekerja setengah-setengah, jadi mama juga harus kerja
keras. Mumetnya pikiran kita yang terkadang membuat kita bertengkar. Maafin
mama sama papa ya Vi. Kita engga pernah bermaksud membuat kamu takut. Kita
sayang sama kamu.” Lanjut mamanya.
Tiba-tiba. Terlihat seseorang masuk
kedalam ruang rawat Sivia. Tubuhnya tinggi tegap. Wajahnya bijaksana walau
sedikit tegas. Ya, itu papa Sivia. Ternyata sedari tadi papa Sivia mendengarkan
percakapan mereka berdua dari luar. Tadi tiba-tiba papa Sivia berniat untuk
menjwmput anak kesayangan dan istri tercintanya itu.
“Maafin Papa ya vi...” suara
beratnya memecah keheningan yang sempat terjadi beberapa detik setelah papa
Sivia masuk keruangan ini.
Papa Sivia memeluk anaknya itu
dengan erat. “Papa sayang kamu..” ucapnya sambil mencium puncak kepala anaknya
dengan penuh kasih sayang.
“Maafin papa juga ya ma. Papa suka
marah-marah sama mama.” Lanjutnya sambil melepaskan pelukannya dari Sivia dan
segera memeluk mama Sivia.
Mama Sivia mengangguk di dalam
pelukan papanya.
Sivia tersenyum melihat mama dan
Papanya sudah kembali lagi seperti dulu. Sivia sangat menginginkan hal ini
terjadi. Sivia ingin kembali seperti dulu. Sivia sayang mama dan papanya.