Sabtu, 06 Oktober 2012

I'm very sorry for the late post RC.

Hay guys! maaf yaa maaf banget gue ngepost RCnya ngaret banget. Maklumlah gue sekarang udah kelas 9. jadi gabisa sering-sering ngelanjutin nulis. sekalinya ada waktu eh moodnya gaada. Maaf kan sayaaa. Part 10 ini juga rada tijel. perjalanannya kurang jelas. kata-katanya banyak yang diulang-ulang. akibat stress mikirin pelajaran nih. jadi sekali lagi maafkan sayaa.. Oiya buat part 11nya belum tau kapan lagi di postnya. sepertinya beberapa part lagi bakalan selesai. Do'ain aja yaa. makin kesini sepertinya viewersnya makin dikit. ngebosenin ya? emang:') haha.
sudah deh, makasih buat yang mau baca. bye guys;)

Rahasia Cinta Part 10


Hari ini adalah hari Rabu, oh bukan-bukan. Tapi hari adalah saat yang ditunggu-tunggu –sebagian besar- murid Bunga Cendikia Internasional Junior High School kelas 7 tepatnya. Hari ini mereka akan melaksanakan Outing Class atau Study Tour atau apalah itu istilahnya, yang pasti tempat yang dikunjungi yaitu Kebun Teh daerah Lembang dan Boscha.


Shilla sangat mengenal tempat itu, ya dulu Shilla salah satu penghuni perumahan didaerah Kebun Teh Lembang. Tapi, Shilla tak tau jika ia -dan teman-temannya itu- akan study tour ke daerah sana, ya Shilla memang mencoba tak peduli sepertinya.


Pagi ini masih pukul 05.30 bahkan mataharipun masih tampak malu-malu menunjukan dirinya, tapi Shilla sudah siap dengan segala keperluannya. Kaos putih simple Polo selengan disertai sweater ungu muda dan dipadukan dengan celana jeans Levi’s selutut berwarna biru dongker sudah tertata rapih ditubuh Shilla. Sangat cocok untuk Shilla, simple namun tetap terlihat manis. Dan tak lupa dipadukan dengan flat shoes gosh dengan peduan warna ungu muda dan merah muda itu menambah kesan kefeminimannya.


Sedangkan bawaan didalam tasnyapun sudah tertata rapih. Inhalernya, bekal-bekal makanan, dan lain-lain yang ia butuhkan disana nantinya. Yap, Shilla sudah siap sekarang. Seperti ada yang terlupa, tentu saja. Ia lupa, ia belum sama sekali mempersiapkan mentalnya. Ah pasti Shilla akan mencoba tak peduli lagi toh nantinya.


Pukul 06.00 tepat mobil Shilla telah terparkir di halaman sekolah yang luasnya melebihi lapangan sepak bola itu. Entahlah padahal jarang sekali murid yang membawa mobil paling hanya anak-anak kelas 9 itu juga hanya beberapa secara mereka masih memakai seragam putih biru jarang sekali para orang tua membolehkannya.


Shilla bergegas memasuki bus khusus kelasnya, ia masuk melalu pintu belakang lalu mencari-cari seseorang yang sekiranya mau duduk dengan anak pemilik saham terbesar  sekolah ini. Pandangannya terhenti ketika melihat Zahra dan Agni sudah duduk sambil mengobrol di bangku yang tersedia untuk dua orang dibarisan tengah, ya tentu saja Shilla takkan mungkin duduk dengan mereka. Shilla melanjutkan langkahnya satu bangku didepan Zahra Agni ternyata ada Sivia Ify, Ify melihat raut wajah Shilla yang sepertinya sedang mecari bangku, rasanya ia ingin mendekati Shilla lalu mengajak duduk bersama namun rasanya tak mungkin.


Shilla hanya melengos, berharap ia bisa tak peduli dengan hal tadi yang baru ia rasakan.

“SHILLA!” panggil seseorang.

‘nah!’ batin Shilla seperti baru mendapatkan sesuatu.


Shilla berjalan maju kearah sumber suara yang memanggilnya barusan, Shilla tau suara ini pasti Olivia.


Sesampainya ditempat duduk Olivia yang tepatnya dikedua dari depan, ia bisa melihat Shinta dan Zevana berada tepat didepan tempat duduk Olivia.

“Shill, sini duduk sama aku” ucap Olivia.

“sama aku aja Shill” Ucap Zevana.

“Daripada sama lo lo pada mending shilla sama gue” Ucap Shinta tak mau kalah.

“Eh kalo duduk sama kalian Shillanya dimana? Mending sama aku sini Shill” Ucap Olivia.

“Eh gabisa gitu dong lo kan dikelas udah duduk sama Shilla, gantian gue” Ucap Shinta.

“Shill, mending kamu sama aku aja. Biar Shinta yang sama Olivia” Ucap Zevana.


Shilla mundur selangkah dari mereka sebelum mengucapkan “makasih. Aku dibelakang aja” Sebelum akhirnya Shilla benar-benar pergi meninggalkan mereka menuju kursi belakang.

“Yah Shill sama gue aa…” “sama gu…” “Gu…”


Ah, akhirnya suara mereka tak terdengar lagi, batin Shilla lega ketika ia sudah  sampai pada bagian belakang bus. Banyak tempat duduk yang kosong, ya bagus lah. Ia memilih bangku yang terletak satu bangku dari bangku belakang. Karena murid dikelasnya hanya sekitar 24 orangan maka bus kecil inipun masih banyak tersisa bangku kosong seperti ini apalagi mereka lebih banyak yang memilih didepan.


Shilla menaruh tasnya di bagian pojok kursi yang ia pilih, lalu melempar tubuhnya perlahan ketempat yang sama. Oiya, sepertinya ia tidak melihat Ray sedari tadi. Kemana dia? Tidak mungkinlah Ray tidak ikut. Belum lama Shilla memikirkan laki-laki itu tiba-tiba saja Ray memasuki Bus dengan santainya. Ah, Ray ini selalu saja tak pernah merasa bersalah.


Ray mencari-cari tempat duduk yang sekiranya dapat ia duduki sambil masih terus mendengarkan music dari headphonenya. Ray sempat menengok kearah Shilla dan menatap  Shilla seakan bertanya gue-boleh-duduk-sini-?. Shilla tak menjawab hanya menggeleng. Oke, Ray tak ingin memaksa, ia segera beranjak dari sana lalu duduk di sebrang kursi yang kini telah Shilla tempati.


Tanpa Shilla sadari Shilla masih memperhatikan Ray sedari tadi, ah entahlah Shilla seperti akan menemukan sesuatu dari Ray yang sampai saat ini Shilla belum ketahui pasti apa itu. Tapi Shilla yakin sekali, ya ia sangat yakin.


Sedangkan Ray sendiri masih sibuk dengan Ipodnya. Lalu menengok kearah Shilla yang masih sibuk memerhatikannya dan sejurus Shilla memalingkan pandangannya ke arah tasnya. Namun respon Ray hanya mengangkat bahu lalu mulai sibuk kembali dengan Ipodnya.


*


Kehilanganmu bagaikan kehilangan separuh nafasku, maka dari itu aku tak ingin kau pergi meninggalkan aku secepat itu.


Tanpa kau sadari, keegoisanmu itu yang akan menjadi boomerang untuk dirimu sendiri. Meluruh rantahkan seluruh rasanya untuk mu.


Sepanjang perjalan bus terasa sunyi. Hanya saja Zahra terus berceloteh riang dengan Agni. Semua ia ceritakan pada Agni. Agni yang sudah kenal dekat dengan Zahra hanya mendegarkan apa yang diucapkan Zahra tanpa memberi masukan, kecuali Zahra yang meminta. Baru ia akan memberikan sedikit masukan pada Zahra.


“Ni, tau ngga kemaren ka Gabriel kaya ngasih harapan gitu buat gue. Aaah gue seneng banget nii. Pengen rasanya gue meluk dunia kalo bisaaa” ucap Zahra bersemangat tapi dengan suara yang agak dikecilkan.

“Dia tuh bilang katanya gue adalah orang keempat yang terspesial buat diaa. Ah bodo deh mau keempat, kelima, kesepuluh atau keberapa yang penting dia masih nggangep gue special niiii. Nih ya kalo menurut gue, yang special pertama pasti ibunya kan? Yang kedua mungkin Ayahnya. Emm yang ketiga siapa dong? Diakan anak tunggal. Gapunya kaka ataupun ade. Ah taulah mungkin neneknya atau kakeknya ya ni? Haha gue seneengg” Ucap Zahra sedikit berlebihan atau terlalu berlebihan sepertinya.


Agni hanya mengangguk dan tersenyum melihat Zahra sebahagia itu. Agni juga bingung sebenarnya harus menanggapi apa. Untung saja Zahra akan terus bercerita, jadi Agni tak perlu mencari kata-kata untuk membalas ucapan Zahra itu.


“Ni, tapi gue takut.” Ucap Zahra yang tawanya mulai menghilang dan lebih terlihat murung sekarang.

“Kenapa?”

“ ‘dia’ yang dulu gue ceritaiin itu selalu bikin gue takut kehilangan ka Gabriel. Oke, gue emang gatau ‘dia’ itu siapa. ‘dia’ itu dimana sekarang. Gue gatau. Tapi gue  takut. Takut banget” Ucap Zahra dengan nada lebih rendah lagi.

“Ra, kalo menurut gue sih ya lo harus positif thinking ra. Lagipula kita juga belum taukan ‘dia’ itu siapa. Yakinin aja hati lo kalo Gabriel cuma punya lo. Cuma buat lo” Ucap Agni menepuk-nepuk pundak Zahra penuh kasih sayang.


Lo yang gatau ni kalo sebenernya gue udah punya perkiraan kalo dia itu ‘Shilla’. Iya ‘Shilla’ –yang dulu- sahabat kita, batin Zahra lirih.


Zahra tersenyum sedikit dipaksakan setelah itu, tapi senyum itu terlihat seperti sedang menutupi sesuatu, senyum itu bukan senyum yang ikhlas, ya tentu saja. Ah, Zahra ini kenapa sih sering sekali bersikap seperti itu. Menutupi sesuatu dalam diam, dalam keheningan.

“thanks ni” Ucap Zahra kemudian lalu menghela nafas berat tak kentara.


Agni tau itu bukan senyum Zahra yang biasanya. Tapi, Agni tak bisa mengintrogasinya. Agni hanya bisa membalasnya dengan senyuman juga. Setidaknya bisa membantu Zahra merasa sedikit tenang dan bahagia dengan balasan senyum Agni.


*


Kenangan itu, memori itu, terlalu memaksa untuk diputar kembali diotakku. Aku benci ini. Aku benci saat-saat seperti ini.


Bus yang berisi murid-murid Bunga Cendikia Internasional JHS kelas 7F sudah mulai memasuki kawasan lembang, Bandung nampaknya.  Shilla yang sedari tadi sedang sibuk mengutak-atik gadgetnya mulai merasakan sesuatu yang sedikit menggangunya, merasakan getaran hebat dihatinya yang membuatnya segera menaruh gadgetnya didalam tas ranselnya.


Shilla sedikit terkesiap saat pandangannya sudah teralihkan ke pemandangan indah yang berada diluar kaca jendela bus ini. Shilla mengeratkan sweater yang ia kenakan. Dadanya sedikit terasa sesak. Matanya mulai berkaca-kaca.


Memori itu,


tempat ini,


ka Arel........


Ia menghela nafas panjang, lalu membuang pandangannya kearah sepatunya. Ah, rasanya ia sudah tak punya kekuatan lagi untuk memandang keluar. Padahal pemandangan diluar terlihat begitu menenangkan dan menyegarkan. Tapi bagi Shilla itu akan menjadikan sel-sel ditubuhnya yang peka akan kenangan-kenangan masa lalunya itu hidup kembali, mengalirkan sesuatu yang Shilla benci, yang Shilla ingin lupakan secepatnya.


Bedungan di matanya sudah tak bisa ditahan lagi sekarang. Perlahan-lahan air mengalir dari pipinya. Shilla menyekanya. Takkan ada lagi. Takkan ada air mata itu lagi untuk ka Arel. Munafik, memang. Ia memang munafik.


Lagi-lagi Shilla mengehela nafas panjang. Berharap semuanya tetap akan berjalan baik-baik saja. Ia tak ingin study tour yang ia jadikan sarana untuk refresing ini malah menjadi penghancur hatinya kembali.


Ia memejamkan kedua matanya, berharap rasa sesak itu tak lagi dapat ia rasakan setelahnya. Namun dugaannya salah. Pejaman matanya malah semakin memojokan Shilla. Membuat Shilla jatuh terlalu dalam. Sehingga ia sulit untuk keluar, jadi ia lebih memilih membiarkannya saja.


Membiarkan luka itu menganga lagi. Bahkan harus terasa lebih perih dan lebih sakit dari sebelumnya. Dalam pejaman matanya ia berharap. Takkan ada luka seperti ini lagi. Biarkan ia tersenyum, jangan sakiti hatinya lagi. Ia memohon di dalam sebuah pengaharapan yang belum tentu dapat terkabulkan.


*


Pukul 10.00 tepat, bus rombongan Bunga Cendikia telah terpakir rapih di parkiran tujuan utama mereka, Boscha. Ya, tempat teropong bintang terbesar di Indonesia. Disana mereka akan belajar mengenai system tata surya, benda-beda yang ada diluar angkasa, dan macam-maca teropong bintang yang beraneka ragam.


Shilla turun dari bus dengan langkah gontai, matanya masih terlihat sembab. Mungkin akibat bendungan tadi yang tak bisa ia tahan. Atau mungkin saat ia memejamkan mata tadi, tanpa ia sadari air matanya terus menetes seiring terlelapnya Shilla. Ya, tadi Shilla sempat tertidur sebentar, mungkin karena hatinya terlalu terasa lelah.


Ia mengamati sekelilingnya, semua murid sudah mulai sibuk bercanda ria dengan teman-teman lainnya. Ditempat seramai dan seberisik ini, Shilla merasa kesepian. Ia merasa tersisihkan disini. Andai saja ia masih berhubungan baik dengan Ify, Sivia, Zahra dan Agni pasti ia bisa merasa lebih baik. Ah, sudahlah. Sudah cukup hatinya terluka di bus tadi akibat kenangan akan tempat ini.


“Shill.... kenapa?” Suara Ray tiba-tiba mengagetkannya yang sedang setengah melamun itu.


“kenapa? Kenapa apanya?” jawab Shilla yang malah balik bertanya.

“mata lo” ucap Ray menunjuk kedua mata sembab Shilla.

“kenapasih?” ucap Shilla penasaran.

“sembab. Rambut lo jugatuh berantakan gitu” Kata Ray yang sekarang menunjuk kearah kepala Shilla.

“ha? Masasih?” kata Shilla yang langsung buru-buru merapihkan rambutnya dengan tangan kanannya.

“Iyalah, ngapain sih gue boongin lo. Udah yuk jala, tuh udah pada masuk” Ucap Ray lalu menarik tangan kiri Shilla dengan sengaja.


Shilla sedikit merasa lega sekarang, ternyata ia tidak invisible seperti asumsinya. Dan Shilla juga sedikit bahagia, karena dia masih mempunyai Ray. Seseorang yang bisa dibilang sahabat barunya yang tingkahnya kadang terlihat sedikit aneh. Shilla senyum-senyum sendiri melihat Ray yang sedang berjalan didepannya sambil terus menggandeng tangannya.


Tak jauh dari tempat Ray dan Shilla terus melangkahkan kaki, dua pasang mata terus mengintai mereka tanpa henti. Kedua mata bulat Cakka dan kedua mata sipit Sivia. Menatapi dengan sejuta tatapan tak terbaca. Ada cemburu juga rasa rindu. Keduanya sama, sama-sama merasakan bentagan jarak yang semakin jauh saja.


*


Tepat pukul 13.00 kegiatan di Boscha telah selesai, mereka akan segera melanjutkan perjalan ke Kebun Teh yang ada di Lembang untuk sekedar refreshing dan belajar mengenai dauh teh. Shilla berjalan menuju bus bersama Olivia, Zevana dan Shinta. Shilla terlihat diam saja sedari tadi semenjak masih berada didalam boscha dan menonton tayangan tentang alam semesta.


Ia hanya tak ingin otaknya tercampur dengan zat-zat yang berisi tentang masa lalunya. Tentang liburannya –dulu-  bersama Arel di Boscha. Huh, sudahlah, Shilla sudah terlalu lelah membahas semua tentang Arel. Ia sudah terlalu tersakiti sekarang. Biarkan ia tenang tanpa masa lalu itu lagi. Biarkan ia melupakan semuanya.


Shilla berjalan tanpa semangat, mungkin jika ia tertiup angin yang kencang ia sudah terbang sekarang. Tapi  tidak sedang ada angin kencang disini sekarang. Jadi, amanlah Shilla berjalan seperti ini. Semakin ia berjalan menuju bus, semakin ia merasa tubuhnya sudah tidak menapak di tanah. Ingin sekali ia berlari dari kenyataan ini. Entah mengapa ia membenci hari ini, ia membenci study tour ini.


Dan Shilla juga tidak tau sejak kapan ia menjadi membenci kota yang dulu ia tak mau tinggalkan ini. Dan sejak kapan juga Shilla mempunyai fikiran untuk menjadi munafik dan belajar membenci Arel.  Ah entahlah. ‘Ka Arel kaka dimana? Aku kangen’, batinnya merintih menahan perih luka-lukanya.

“Shilla?” Panggil Zevana membuyarkan lamunannya.

“Ha? Iya? Kenapa?”

“Ini udah sampe bus kita Shilla. Kamu masuk duluan gih” Ucap Olivia kemudian.

“Oh iya”


Perjalanan dari Boscha ke kebun teh yang dimaksud tidak telalu jauh, hanya sekitar 3 atau 4 kilo meter saja. Shilla kembali memilih duduk dibangku yang sedari awal dia tempati. Ray sudah terlihat disana. Asik dengan Ipodnya lagi nampaknya.


Shilla kembali menatapi jalanan dibalik jendela bus ini. Ah, jalanan ini. Kenapa bus ini memilih melewati jalanan inisih. Oh ya, kan memang hanya ada satu jalur di daerah lembang ini. Shilla... Shilla.... segitunya kah ia membenci masa lalunya? Tidak... tidak... Shilla tak membencinya. Hanya saja membenci mengapa harus ada luka sesakit ini yang ia rasakan?


Dadanya mulai terasa sesak, juga otaknya. Memori itu seakan-akan menggebu bersemangat keluar dari persembunyiaannya akhir-akhir ini. Shilla tau sekuat apapun ia menolak kenangan itu, pasti tak akan ada hasilnya. Arel.... terlalu kuat dalam ingatannya walaupun sempat terabaikan namun tetaplah hanya nama itu yang dapat memulihkan semangat Shilla. Tapi kali ini, Shilla sangat rindu. Merindukan bocah kecil nan tampan itu, Arel.


*


Shilla membuka matanya perlahan, berharap semuanya kembali normal. Berharap ia sedang berada dirumah bersama ommanya. Namun, kenyataannya tidak begitu. Ia sedang study tour sekarang. Di Lembang, ya. Kota yang dulu sempat ia tinggali itu.


Shilla terkesiap ketika melihat sebuah plang besar disamping busnya. “Selamat Datang Di Perkebunan Teh Mekar Wangi”plang berwarna hijau itu..... nama perkebunan teh itu.... dan tempat ini.... tidak salah dan tidak bukan ini adalah perkebunan teh yang ada didekat gang rumahnya dulu. Shilla sangat menyukai tempat ini. Tapi, dulu. Saat ia masih sering bermain bersama bocah kecil, sahabatnya.


Shilla turun dengan badan sedikit tak seimbang, kepalanya pusing.  Namun aroma teh ini membuatnya kembali semangat. Shilla menarik nafas berkali-kali segarnya udara disekitar sini cukup membersihkan ingatanya sebentar, ya hanya sebentar saja.

“Semuanya, berkumpul!” Ucap salah satu guru yang menjadi Panitia di acara Study Tour ini.

“Baik, semuanya tenang dulu!” Ucap guru lain yang seperti sedang terlihat menyiapkan selembaran kertas. “Disini, saya dan guru-guru lain akan memberikan sedikit soal untuk kalian isi, tentang kebun teh ini!” lanjut bapak guru yang lumayan tinggi itu.

“Tapi, tenang saja. Ini adalah tugas kelompok. Satu kelas itu akan ada 6 kelompok. 1 kelompok 4 orang. Harus sekelas ya!”

“Kelompoknya bebas, boleh pilih sendiri kecuali kelas 7F dan 7A. Akan kami pilihkan..”

“yaahhhhhh” terdengar suara kekecewaan dari kedua kelas tersebut. Namun panitia pasti punya pilihan lain. Ya, karena kelas 7A dan 7F itu unggulan jadi, lebih baik dipilihkan saja.

“kelompok 1 kelas 7F Sivia, Zevana, Debo dan Riko. Lalu kelompok 2 Ashilla, Raynald, Cakka dan Alyssa. Kelompok 3...... kelompok 4........”


Ify tersenyum penuh arti, sekelompok dengan Shilla! Ah, pasti akan menjadikan ia lebih mudah berbaikan dengan Chilla sahabat kecilnya itu. Shilla memang paling tak bisa menahan obrolan dengan siapapun teman sekelompoknya walaupun sedang diam-diaman seperti ini.


Cakka menatap kearah Shilla yang sedang berada disebelah Ray dengan tatapan tak terbaca. Cakka tak pernah membenci Shilla, malah ia merindukannya. Namun mengapa Shilla malah begitu? Menjauhi dirinya. Bukannya harusnya Cakka yang lebih kecewa dengan sikap Shilla. Namun mengapa seakan-akan malah Shilla yang kecewa pada Cakka.

“Shill... kita sekelompok” kata Ray pelan. Shilla hanya mengangguk.
Cakka dan Ify berjalan mendekati Ray dan Shilla. Lalu mereka berempat berdiam diri satu sama lain. Sebelum akhirnya Cakka yang mengambil kertas berisi soal-soal tentang kebun teh yang sebenarnya sudah tak asing bagi Shilla ini. Shilla membaca soalnya dengan seksama, ada 4 soal.

“kerjanya kita bagi-bagi aja. Gue nyari info tentang nomor 1. Sisanya terserah kalian” Ucap Shilla dengan wajah datar lalu meninggalkan mereka yang masih terdiam.


Shilla berjalan menyusuri kebun teh ini. Luas, sangat luas.

“ehem”

“eeh... eeh. Ray” ucap Shilla sedikit terbata.

“katanya mau nyari info. Ko malah bengong mandangin rumah-rumah disana” Ucap Ray santai sambil pandangannya mengikuti pandangan Shilla kearah rumah-rumah minimalis klasik yang indah dipandang.


Tak terdengar jawaban.


Keadan semakin menjadi dingin. Shilla merapatkan jaketnya lalu menggosok-gosokan kedua tangannya. Berharap mendapat kehangatan dari sana. Ray masih terdiam mengetahui bahwa Shilla belum meresponnya.


Sinar matahari mulai tak terlihat, tertutup segerombol awan yang datang secara keroyokan sehingga menyembunyikan hangatnya mentari. Sepertinya akan turun hujan tak lama lagi.


“Shill.... mau ujan nih” Ucap Ray ikut merasakan turunnya suhu disini menjadi lebih rendah.


Shilla masih terdiam, matanya masih menerawang jauh kearah rumah-rumah itu. Ternyata air hujan sudah turun duluan dimata Shilla. Melewati pipi mulusnya. Gadis itu menangis. Ya, Shilla menangis.


“Shill? Lo kenapa?” Tanya Ray mulai panic. Kan tidak sama sekali lucu tiba-tiba Shilla menangis. Masa iya, ia kemasukan setan kebun teh disini. Ray makin merinding saja.


Shilla masih tak menjawab, perlahan tubuhnya melemas, ia seperti sudah tak mampu berdiri lagi sekarang. Shilla jatuh terduduk tepat disamping kaki Ray. Saat itu juga tetesan air hujan mulai terasa membasahi bumi. Makin lama semakin membesar seakan-akan merasakan kegalauan hati seorang Ashilla.


Ray yang kaget ikut duduk disamping Shilla. Wajah gadis ini pucat, pasti kedinginan. Mana semua bajunya sudah basah kuyup. Ah, Shilla. Nafasnya mulai terdengar tak beraturan. Kacau, kacau, batin Ray.


Ray menoleh ke kakan dan kekiri namun sial, sejuta kali sial. Tak ada seorangpun yang bisa dimintai bantuan. Ah, tentu saja. Saat hujan deras seperti ini siapa yang mau ke kebun teh?


Tubuh Shilla masih menggigil. Nafasnya masih saja terdengar tak beraturan. Ray mencoba tenang dan mencari sesuatu dari tas selempang Shilla. Inhalernya. Ah sulit sekali menemukannya. Tiba-tiba Ray melihat sesuatu didepannya, seperti gubuk. Mungkin itu tempat para petani daun teh untuk beristirahat. Ray mencoba menggendong Shilla dan membawanya kesana. Jalannya licin dan hujanpun semakin lebat saja mengguyur kebun teh ini.


Ray berhati-hati meletakan Shilla disana. Lalu, melanjutkan mencari inhalernya dan ah, ketemu. Ray mengucap syukur lalu membantu Shilla untuk memakainya. Nafasnya mulai teratur, tapi tubuhnya terus menggigil. Ray melihat kearah jaketnya, ah sial ternyata jaketnya basah juga. Ray masih terlihat kebingungan.


Disisi lain dua orang sedang memperhatikan tingkah Ray dan Shilla yang sudah tak berdaya itu. Tapi, dua-duanya sama-sama tidak bertindak. Sebenarnya si perempuan tidak tega melihat sahabatnya kedinginan seperti itu. Namun, si laki-laki terus menahannya. Tapi bukan berarti si laki-laki tak simpatik pada Shilla malah dia sangat khawatir wajahnya cemas, sangat cemas.

“kka kita harus kesana! Bantuin Chilla kka!” Ucap Ify disertai derai air mata yang sudah tak sanggup ia bendung.

“jangan Fy” ucap Cakka sambil terus memegangi payungnya.

“bu..bu.. bisa minta tolong?” ucap Cakka ketika melihat seorang petani daun  teh lewat didepannya.

“tolong apa atuh den?” Ucap perempuan tua itu dengan logat sunda yang kental.

“tolong berikan jaket ini ke dua orang disana. Jangan sampe basah ya bu” ucap Cakka melepaskan jaketnya dan disertai tatapan penuh harap.

“Oh iya den, saya antarkan jaket ini kasitu” ucap Perempuan tua itu meninggalkan Ify dan Cakka yang sudah mengucapkan terimakasih.


Ify terdiam. Sedikit tenang karena Shilla tak akan kedinginan sekarang. Sebenarnya Ify bingung juga mengapa Cakka tak terlihat khawatir sedikitpun. Ify menoleh kearah Cakka. Cakka sedang menunduk ternyata. Terbesit wajah khawatir namun seperti terlihat..... terluka? Ah entahlah yang pasti Ify mengkhawatirkan Shilla sekarang.

“Balik yuk Fy. Kita kumpulin ini” Ajak Cakka pada Ify sambil menunjukan  selembar kertas Soal yang diberikan gurunya tadi. Ify menoleh, terdiam sebentar mengamati wajah tampan Cakka. Sudah tidak terlihat wajah ‘terluka’ itu. Ify mengangguk menyetujui ajakan Cakka. Lalu mereka berdua meninggalkan tempat berpijaknya sekarang.


*


Masa lalu itu hampir meledak diotakku. Biarkan aku mengeluarkan segalanya sekarang. Aku telah muak di hantui masa lalu.


Shilla masih menggigil kedinginan, hujan belum juga berheti. Ray terus berusaha sebisanya untuk agar Shilla tidak terlalu kedinginan sampai seseorang petani kebun teh datang menghampiri mereka.


“punten den. Ini saya teh mau ngasih ini dari aden disana tadi” Ucap petani kebun teh itu.

“ha? Oh iya makasih ya bu” Ucap Ray meraih jaket yang ada ditangan petani itu tanpa menghiraukan siapa pemberinya.

“sami-sami. Saya mohon kesana dulu atuh den” Ucap petani itu lagi lalu meninggalkan Shilla dan Ray


Tanpa mengindahkan ucapan terakhir petani kebun teh itu Ray langsung memakaikan jaket yang baru ia terimanya ke tubuh Shilla. Shilla yang sedang kedinginan menurut saja dipakaikan jaket ketubuhnya. Ia bisa bernafas lega sekarang. Sudah tak ada udara dingin lagi, hujan juga mulai sedikit reda sekarang. Tapi wajah Shilla masih tetap terlihat murung. Sebenarnya ada apa ini?


“Shill? Are you okay now?” Ucap Ray sedikit lega.


Shilla diam Tak ada jawaban. Ia hanya mendekap jaket yang ada ditubuhnya lebih erat lagi.

“hey? Shill jangan bikin bingung dong” Ucap Ray lagi

“ka A.r.e.l...” Ucap Shilla terbata-bata.

“Shill?” Ray semakin bingung.

“K.A. A.R.E.L..... di..ma..naa.. Chilla ka...ngen....” Mata Shilla menerawang, air matanya mulai terjatuh.

“Arel? Gabriel maksudnya?” Ucap Ray asal karena kebingungan.

“Ga..briel? si....apa?” Tanya Shilla.

“Gabriel Stevent anak kelas 8. Lo kenal dia Shill?”

Shilla menggeleng. Memalingkan wajahnya kearah Ray.

“gu..e ka....ngen A...rel..” Ucap Shilla lagi lalu menunduk.

“Tunggu.. tunggu... Lo bilang siapa tadi? Chilla?”


Shilla mengangguk tetapi masih tetap menunduk.


“Jadi.... Lo itu Chilla sahabat kecilnya Gabriel?”


Shilla terkesiap, maksud Ray apa? Chilla sabahat kecilnya Gabriel? Bukan, bukan Gabriel. Tapi Arel iya Arel.


“bu...kan... Ga..briel... Ta...pi... A...reell...” Ucap Shilla kemudian mengangkat wajahnya.

“Iya. Iya. Gue tau. Arel itu ama kecilnya Gabriel. Lo tau Gabriel? Anak OSIS? Kelas 8B? Jadi lo itu Chilla sahabat kecilnya? Ha?” kini Ray yang melongo tak percaya.

“Iya gue Chilla sahabat kecilnya Arel. Gue tau ko Gabriel kelas 8B yang anak OSIS jadi dia itu..................”

“Iya dia Arel. Shill”


Shilla menggeleng tak percaya. “kata siapa?”


“Jadi..... gue itu tetangganya Gabriel itu Shill. Gue sering main kerumah dia dan udah nganggap dia kaka gue sendiri karena gue sama diakan emang anak tunggal. Terus waktu itu gue ngeliat bingkai foto gambarnya beruang. Karena menurut gue terlalu unyu banget buat seorang Gabriel jadi gue Tanya deh. Terus kata dia itu foto dia sama sahabat kecilnya yaitu Chilla. Dia juga kangen sama Chilla katanya. Sebenernya waktu Chilla pindah dia sedih banget. Tapi ternyata 2 tahun kemudian, dia juga pindah ke Jakarta. Tapi sampe sekarang dia belum ketemu sama Chilla”


Shilla tersenyum, lalu menghapus air matanya. “Jadii...........? Dia masih inget gue Ray? Dia masih nyimpen bingkai foto taddy bear itu? Ray thankyou banget yaaaa! Lo emang sahabat terbaik gue Raaay” Ucap Shilla berseri-seri lalu memeluk Ray.

“duh iya iya lepasin dooong sakit Shill” Ucap Ray memberontak.

“hehe Sorry. Gue seneng banget! Gue kangen ka Arel Ray! Daan bentar lagi gue bakal ketemu dia! Oh my God!!!!!” Ucap Shilla kesenangan sendiri. “Duh aduuh pusing” Lanjutnya kemudian sambil memegangi kepalanya.

“Lo sih kesenengan banget. Mending lo istirahat aja dulu. Soal Gabriel biar gue yang atur” ucap Ray mengacungkan jempolnya.

“Sipp” Shilla membalasnya lalu merekatkan kembali Jaket yang ada ditubuhnya. Tunggu-tunggu. Aroma ini, sepertinya Shilla kenal. Ah entahlah, ia hanya ingin memikirkan Arel sekarang.

“Ray” Ucap Shilla kemudian menarik-narik baju Ray.

“Apaan?” ucap Ray lalu tersenyum.

“thankyou.”

“you’re welcome Shill.”


Shilla mengalihkan pandangan ke arah jam ditangannya  sebelum berkata “eh balik ke bus yuk! Pasti kita udah ditungguin deh” Ucap Shilla melompat dari tempat yang ia duduki sekarang.


Ray mengikutinya dari belakang, kemudian tersenyum lagi ‘gue seneng ngeliat senyum dibibir seseorang karena gue. Apalagi Shilla’ batinnya sambil terus mengikuti langkah Shilla.

PART 11